KARAKTERISTIK
PENDIDIKAN ISLAM
Oleh:
H.Masykur H Mansyur
IAIN
Syekh Nurjati Cirebon
Dpk
Unsika Karawang
A.
Pengertian
Pendidikan secara umum,
yang kemudian dihubungkan dengan (kata) Islam yaitu pendidikan
Islam, sebagai suatu sistem keagamaan mempunyai karakteristik tersendiri yang
khas yang membedakannya dengan karakter pendidikan pada umumnya dengan tujuan agar supaya
mengembangkan individu dan masyarakat.
Identitas yang membuat sistem pendidikan tersebut adalah dapat membangun
manusia seutuhnya yang seimbang dan terintegrasi antara jasmani, rohani dan
kalbu dalam rangka memanusiakan manusia dalam menghadapi kehidupan dunia dan
akhirat. Ciri yang membuat manusia semakin dekat dengan pencipta-Nya yaitu
Allah SWT.
Karakter pendidikan Islam adalah pendidikan yang mempunyai
ciri-ciri khusus sebagaimana diuraikan diatas.
Menurut Malik Fadjar dalam H.A.R. Tilaar, bahwa lembaga pendidikan
Islam adalah lembaga yang mempunyai ciri khas tersendiri, lebih lanjut beliau
mengatakan; lembaga madrasah (pendidikan Islam) tidak dapat digantikan dengan
lembaga lain, karena madrasah mempunyai visi misi dan karakteristik yang sangat
khas dalam masyarakat dan bangsa Indonesia baik dilihat dari segi kebudayaan,
pendidikan, politik bahkan ekonomi[1].
B. Macam-macam Karakteristik Pendidikan
Islam
Karakteristik-karakteristik pendidikan Islam
menurut Azyumardi Azra terdiri dari:
Karakteristik
pertama pendidikan Islam adalah penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan,
penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah SWT. Karakteristik
kedua adalah pengakuan potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang. Karakteristik
ketiga adalah pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada
Tuhan dan masyarakat manusia.[2]
Karakteristik pendidikan Islam adalah aqidah tauhid. Kenyataan
inilah yang menjadikan pendidikan Islam memiliki karakteristik khusus dibanding
dengan pendidikan lainnya. Karena wahyu dalam al-Qur’an dan hadits mengandung
penjelasan mengenai ajaran tauhid. Dan yang terpenting adalah selain
tauhid sebagai sentralnya, wahyu
merupakan sumber pokok dalam ajaran Islam. Dengan demikian pendidikan Islam
dipandu oleh sumber yang jelas dan transenden, yaitu wahyu. Jadi tidak
diserahkan kepada pengalaman manusia semata, apalagi kepada spekulasi manusia
seperti dapat dilihat dari prosedur penyusunan konsep-konsep pendidikan
sekuler.
Diantara ajaran-ajaran Islam yang pokok yang berkaitan dengan
usaha-usaha pendidikan ialah tentang alam semesta, manusia dan ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu karakteristik pendidikan Islam pada dasarnya
mewujudkan ajaran Islam dalam kerangka yang dapat membedakan dengan
karakteristik pendidikan di luar Islam.
Menurut Maksum Mukhtar karakteristik pendidikan Islam pada dasarnya
dapat dilihat dari dua sisi pokok yaitu; Pertama aspek-aspek
fundamental yang menggambarkan dasar dan tujuan pendidikan Islam sehingga
membedakannya dengan pendidikan non Islam, dan kedua kandungan
utama pendidikan Islam yang menjadi substansi untuk dikembangkan dalam
kurikulumnya. Sepanjang lembaga atau satuan pendidikan seperti madrasah
mempertimbangkan kedua aspek diatas, maka dapat dikatakan tetap konsisten dengan
karakteristik pendidikan islam[3].
Menurut Al-Syaikh Muhammad Aman bin Ali al-Jamiy mengatakan bahwa
karakteristik pendidikan Islam adalah “membentuk manusia shalih”[4]. Lebih
lanjut beliau mengatakan bahwa: Adapun Islam, ia mempunyai cara khusus dalam
menyiapkan individu yang shalih dan ia mempunyai sarana yang khusus pula,
dimana ia mengambil mahluk yang bernama manusia ini dengan keseluruhannya,
dengan jasad, ruh dan akalnya tanpa menyia-nyiakan ruh demi jasad atau akal dan
sebaliknya[5].
Berdasarkan berbagai hal tersebut, maka dalam karakteristik
pendidikan Islam secara khusus dalam tulisan ini menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
1.
Pencarian ilmu pengetahuan.
Dalam ajaran Islam mencari ilmu
adalah wajib hukumnya bagi setiap orang. Demikian juga dengan penguasaan dan
pengembangannya. Itulah sebabnya Ibnu Taimiyah mengatakan “belajar agama adalah
fardlu kifayah kecuali untuk beberapa hal adalah fardlu ain, seperti belajar,
dan mengetahui tentang apa-apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah
kepadanya”[6].
Hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari
Muslim
حَدَّثَنَا
سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ
قَالَ قَالَ حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ خَطِيبًا يَقُولُ
: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ يُرِدِ اللَّهُ
بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ….. رواه البخاري
BUKHARI - 69) : Telah menceritakan kepada kami
Sa'id bin 'Ufair Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahab dari Yunus dari Ibnu
Syihab berkata, Humaid bin Abdurrahman berkata; aku mendengar Mu'awiyyah
memberi khutbah untuk kami, dia berkata; Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Barangsiapa yang Allah kehendaki menjadi baik maka
Allah faqihkan dia terhadap agama….. . (H.R. Bukhari)[7].
Dengan demikian setiap
orang yang menghendaki kebajikan pada dirinya, maka hendaklah ia memahami agamanya.
Barang siapa yang tidak belajar memahami agamanya, berarti dia tidak
menghendaki kebajikan bagi dirinya.
Jika umat Islam mengabaikan tradisi ilmu yang benar sebagaimana
digariskan dalam al-Qur’an disatu sisi, dan
melakukan aktivitas budaya santai, budaya hedonis, budaya jalan pintas
terus dikembangkan disisi lain, maka hanyalah mimpi saja bagi umat Islam dalam
menguasai persaingan global dewasa ini. Dalam perspektif Islam haruslah
menjadikan aktivitas keilmuan sebagai aktivitas utama umat Islam. Sehingga
kedudukan ilmu sangat sentral dalam Islam, sehingga Allah memerintahkan agar
aktivitas pencarian ilmu, pengembangan penguasaan dan pengembangan ilmu
pengetahuan itu tidak boleh berhenti tapi harus terus menerus sebagai proses
yang berkesinambungan, dan berlangsung seumur hidup. Inilah yang kemudian
dikenal denagan istilah life long education dalam sistem pendidikan modern.
Karena kedudukannya yang sangat mulia, maka ilmu juga memiliki
tujuan yang mulia pula yaitu untuk mencapai kebahagiaan.
Adian Husaini mengatakan bahwa tujuan utama dari ilmu dalam Islam adalah
untuk “ mengenal Allah SWT, dan meraih kebahagiaan (sa’adah), sebab ilmu mengkaji tentang “ayat-ayat”
(tanda-tanda) – baik ayat kauni atau qauli – yang menjadi petunjuk bagi yang
ditandai, yaitu Allah Sang Pencipta”[8].
Oleh karena itu pendidikan Islam harus diperioritaskan dari bidang lain.
Sebab menurut Hamid Fahmi Zarkasyi bahwa “peradaban Islam itu bangkit
berdasarkan ilmu pengetahuan”[9].
Lebih lanjut beliau mengatakan agar pendidikan Islam maju yang perlu dilakukan
adalah;
Pertama, perlu dukungan semua pihak baik finansial atau politik. Kedua,
tujuan pendidikan Islam tidak hanya diarahkan mencari pekerjaan, tapi untuk
mencetak insan kamil. Ketiga, pendidikan Islam harus
diorientasikan kepada pengkajian turath dalam berbagai bidang, baik ilmu
naqliyah ataupun ilmu aqliyah, namun turath perlu dipahami dalam konteks
kekinian[10].
Sebagai
ibadah, dalam pencarian, penguasaan dan pengambangan ilmu pengetahuan dalam
pendidikan Islam sangat menekankan pada nilai-nilai akhlak. Dalam konteks ini
kejujuran, sikap tawadlu’ dan menghormati sumber pengetahuan merupakan prinsip
utama yang perlu dipegangi setiap ilmu.
1. 2. Pengkuan akan Potensi Manusia.
Umat Islam wajib memanfaatkan dengan
sekuat tenaga untuk mencari ilmu. Selain pahanya yang sangat besar, ilmu juga
menjadi landasan keimanan dan landasan amal. Dalam al-Qur’an banyak ayat yang
menjelaskan tentang iman dan amal shaleh. Setiap pencari ilmu dipandang sebagai mahluk
Tuhan yang perlu dihormati dan disantuni agar
potensi yang dimilikinya dapat teraktualisasi dengan sebaik-baiknya.
Kecuali itu, pencari ilmu akan dimudahkan jalannya ke surga. Para malaikat akan
menghormatinya dengan meletakkan sayap-sayapnya. Seluruh mahluk yang ada di
bumi sampai ikan-ikan yang ada di laut terdalam sekalipun, akan memohonkan
ampunan. Itu disebabkan kemuliaan mereka jika dibandingkan dengan orang-orang
yang ahli ibadah yang kurang ilmunya, ibarat bulan purnama ditengah gugusan
bintang-bintang. Mereka itu semua adalah pewaris Nabi. Hal ini sesuai dengan
sabda nabi Saw.
عَنْ كَثِيرِ
بْنِ قَيْسٍ قَالَ:كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ
فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ أَتَيْتُكَ مِنْ الْمَدِينَةِ مَدِينَةِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُ
بِهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَمَا جَاءَ بِكَ تِجَارَةٌ
قَالَ لَا قَالَ وَلَا جَاءَ بِكَ غَيْرُهُ قَالَ لَا قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ
فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ
لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ
لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانِ فِي الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ
الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ
الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا
دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ
وَافِرٍ.رواه إبن ماجه
IBNUMAJAH - 219) : Dari Katsir bin Qais ia berkata; "Ketika
aku sedang duduk di samping Abu Darda di masjid Damaskus, tiba-tiba datang
seseorang seraya berkata; "Hai Abu Darda, aku mendatangi anda dari kota
Madinah, kota Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam karena satu hadits yang
telah sampai kepadaku, bahwa engkau telah menceritakannya dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam! " Lalu Abu Darda bertanya; "Apakah engkau datang
karena berniaga?" Katsir bin Qais menjawab; "Bukan, " Abu Darda`
bertanya lagi, "Apakah karena ada urusan yang lainnya?" Katsir bin
Qais menjawab; "Bukan, " Katsir bin Qais berkata; "Sesungguhnya
aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa
meniti jalan untuk mencari ilmu, Allah akan permudahkan baginya jalan menuju
surga. Para Malaikat akan membentangkan sayapnya karena ridla kepada penuntut
ilmu. Dan seorang penuntut ilmu akan dimintakan ampunan oleh penghuni langit
dan bumi hingga ikan yang ada di air. Sungguh, keutamaan seorang alim dibanding
seorang ahli ibadah adalah ibarat bulan purnama atas semua bintang.
Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidak
mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa
mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang sangat besar[11].
Tidak ada satu peradaban yang bangkit
tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu, termasuk peradaban Islam.
Rasulullah telah memberikan contoh dalam hal ini, dimana ditengah masyarakat
jahiliyah beliau berhasil mewujudkan masyarakat yang sangat tinggi tradisi
ilmunya. Yang oleh Adian Husaini menyebutkan;
Tradisi
ilmu yang didorong oleh ayat-ayat al-Qur’an telah mengubah sahabat-sahabat Nabi
SAW dari orang-orang jahiliyah menjadi orang-orang yang senang dengan ilmu
pengetahuan dan berakhlak mulia, mengubah genersi-generasi Arab jahiliyah yang
tidak diperhitungkan dalam pergolakan dunia menjadi pemimpin-pemimpin kelas
dunia yang disegani di seluruh kawasan dunia saat itu[12].
Semangat mereka para sahabat dalam
memburu ilmu pengetahuan semakin tinggi, berkat pemahaman terhadap al-Qur’an
yang banyak ayat-ayatnya mendorong agar umat Islam menggunakan akalnya.
3. 3. Pengamalan Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan yang didapat bukan hanya
untuk diketahui dan dikembangkan,
melainkan sekaligus dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian,
terdapat konsistensi antara apa-apa yang diketahui dengan pengalamannya dalam
kehidupan sehari-hari. Di dalam Islam, mengetahui suatu ilmu pengetahuan sama
pentingnya dengan pengalamannya secara konkrit sehingga dapat terwujud
kemaslahatan umat. Kedudukan seorang yang berilmu (alim) dalam Islam dihargai
tinggi bila orang itu mengamalkan ilmunya. Mengamalkan ilmu dengan cara mengajarkan
ilmu itu kepada orang lain adalah suatu
pengamalan yang paling dihargai oleh Islam.
Peradaban Islam sendiri berdiri di atas
landasan ilmu, yaitu ilmu yang bermanfaat yang memberikan kebajikan kepada
manusia seluruhnya. Dalam mengamalkan ilmu itu tentunya didasarkan pada amal
dan pengabdian pada Allah, sehingga setiap muslim sudah berada dalam ilmu yang
berdasarkan petunjuk al-Qur’an sebagai wahyu yang lengkap dan terakhir,
sehingga ia sudah mencukupi sebagai bimbingan dan keselamatan manusia; dan
tidak ada ilmu selainnya, kecuali yang didasarkan atasnya dan merujuk
kepadanya.
Berbeda dengan Barat yang merumuskan
pandangan terhadap kebenaran dan realitas berdasarkan pada kebudayaan. Al-Attas
mengatakan “Barat merumuskan pandangannya terhadap kebenaran dan realitas bukan
berdasarkan kepada ilmu wahyu dan dasar-dasar keyakinan agama, tetapi
berdasarkan pada tradisi kebudayaan yang diperkuat oleh dasar-dasar filosofis”[13].
Karena itu, ilmu sejatinya haruslah
berlandaskan etika dan moral, hal ini sesuai dengan pandangan Osman Bakar
sebagai berikut:
Bahwa penguasaan terhadap sains dan teknologi
dengan mengenyampingkan nilai-nilai moral dan spiritual yang dijunjung tinggi,
merupakan salah satu kemalangan besar dizaman kita ini. Kemalangan itu lebih
besar lagi jika obsesi tersebut menyangkut kekuasaan materi semata[14].
Jadi ilmu merupakan sumber orisinal
pendidikan Islam yang sejalan dengan kehidupan modern sekarang ini.
Ali al-Jumbulati mengatakan, jika
sistem pendidikan tidak berlandaskan iman dan ilmu, maka tidak akan mampu
merealisasikan kebahagiaan hidup manusia dengan sempurna. Oleh karena dengan
sistem ini pendidikan akan mampu merealisasikan ketenangan dan kemantapan jiwa
anak serta menghormati kepribadian individual[15]. Pengamalan
ilmu pengetahuan dilakukan atas dasar
rasa tanggung jawab kepada Tuhan dan masyarakat.
Ilmu yang diraih seharusnya membuat
manusia lebih tawadlu’ dan ikhlas dalam perbuatan, dan membuat ilmuwan itu
sendiri semakin takut kepada Allah SWT. Ilmu yang tidak disertai dengan
tindakan yang baik bukanlah ilmu dalam arti yang sebenarnya. Karena ilmu yang
sebenarnya tidak terbatas pada retorika semata tapi dipraktikkan sesuai
tuntunan ajaran agama. Sehingga menjadi bagian ibadah kepada Allah SWT. Kalau tidak dipergunakan untuk beribadah
kepada Allah adalah serendah-rendahnya ilmu.
C.
Kesimpulan
1.
Ilmu pendidikan Islam mempunyai karakteristik
yang berbeda dibandingkan dengan karakteristik pendidikan selain pendidikan
Islam
2.
Pendidikan Islam mempunyai landasan tersendiri
yaitu berlandaskan tauhid
3.
Tujuan utama ilmu dalam Islam adalah
kebahagiaan dan ibadah kepda Allah SWT
Wallahua’lam bi-alshawaab.
DAFTAR PUSTAKA
Abi Abdullah Muhammad bin Ismail, Imam
Bukhari, Shahih Bukhari, Damaskus
Beirut: Dâr Ibnu Katsir, Cet. I. 2002.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam dan Secularisme, Bandung:
Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan Cetakan Bahasa Indonesia, 2010.
Al-Jamaly, Ali Al-Syaikh Muhammad Aman bin Ali. Khosho’ish al-Tarbiyah al-Islamiyyah,
Terj. Fuad. Karakteristik Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka
Ar-Rayyan, 2009,
Al-Jumbulati, Ali. Dan Abdul Futuh al-Tuwâinisi,
Dirasatun Muqâratun fi al-Tarbiŷah al-Islamiŷah, Terj. H.M.Arifin, Perbandingan
Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. II, 2002.
Al-Qazwini, Abu Abdilah Muhammad Ibnu Yazid,
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah Jilid I, Beirut: Dar al-Fikri, 1998
Azra, Azyumardi, Editor Idris Thaha. Pendidikan
Islam, Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Jakarata:
UIN Jakarta Kerja Sama dengan Kencana Prenada Media Group, 2012,
Fahmy Zarkasyi, Hamid, Misykat; Refleksi tentang Islam,
Westernisasi dan Liberalisasi, Jakarta: ININSTS, 2012,
H.A.R. Tilaar, H.A.R. Paradigma Baru
Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2010
Husaini. Adian, Filsafat Ilmu,
Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013,
Husani, Adian. Pendidikan
Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, Jakarta: Cakrawala Publihsing
bekerjasama dengan Adabi Press, 2012.
Ibnu Taimiyah. Public Duties in Islam, the Institution of the
Hisba, Terj. Arif Maftuhin Dzofir. Tugas Negara menurut Islam,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004.
Muhtar,Maksum Madrasah, Sejarah dan
Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, Cet. III, 2001,
Osman, Bakar. Tawhid and
Science; Islamic Prespectives on Religion and Science, Terj. Yulianto
Liputo dan MS. Nasrulloh, Tauhid dan Sains, Prespektif Islam tentang Agama
dan Sains, Edisi Kedua da Revisi, Bandung: Pustaka Hidayah, 2008.
[2] Azyumardi Azra, Editor
Idris Thaha. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan
Milenium III, Jakarata: UIN Jakarta Kerja Sama dengan Kencana Prenada Media
Group, 2012, hlm. 10.
[4] Al-Syaikh Muhammad Aman
bin A li al-Jamiy. Khosho’ish al-Tarbiyah al-Islamiyyah, Terj. Fuad. Karakteristik
Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Ar-Rayyan, 2009, hlm. 9.
[6] Ibnu Taimiyah. Public Duties
in Islam, the Institution of the Hisba, Terj. Arif Maftuhin Dzofir. Tugas
Negara menurut Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004. Hlm. 33.
[7] Al-Bukhari, Abi Abdullah
Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari,
Damaskus Beirut: Dâr Ibnu Katsir, Cet. I. 2002.
[9] Hamid Fahmy Zarkasyi,
Misykat; Refleksi tentang Islam, Westernisasi dan Liberalisasi, Jakarta:
ININSTS, 2012, hlm. 127.
[11]Ibnu Mâjah Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini. Sunan Ibnu Mâjah Jilid I,
Beirut: Dar al-Fikr, 1995. Hlm. 81.
[14] Osman Bakar. Tawhid and Science; Islamic Prespectives
on Religion and Science, Terj. Yulianto Liputo dan M.S. Nasrulloh, Tauhid dan Sains,
Prespektif Islam tentang Agama dan Sains, Edisi Kedua dan Revisi, Bandung: Pustaka Hidayah,
2008, hlm. 384.
[15] Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh al-Tuwaanisi, Dirasatun
Muqâranatun fi al-Tarbiyah al-Islamiyyah, Terj. H.M Arifin. Perbandingan
Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. II, 2002, hlm. 3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar