Bismillahirrahmaanirrahim
Manusia
adalah ciptaan Allah yang paling sempurna di dunia ini. Walaupun diciptakan
dengan sangat sempurna, manusia masih memiliki keterbatasan dalam hidupnya. Salah
satunya, manusia belum bisa memperidiksi apa yang akan dikerjakan ke depan.
Karena kita manusia tidak bisa memastikan apa yang akan dikerjakan pada masa
yang akan datang, dalam istilah yang populer disebutkan “manusia hanya bisa
merencakan tetapi Tuhan-lah yang memenentukan”, oleh sebab itu ajaran Islam
mengajarkan dengan megucapkan kalimat in-sya Allaah.
Kata in-sya Allaah terdiri dari kata in
artinya jika, sya’a artinya menghendaki, dan Allaah yaitu
nama Tuhan dalam Islam. Jadi yang dimaksud dengan kata in-sya Allaah
adalah “jika Tuhan menghendaki”. Ungkapan ini digunakan oleh umat Islam untuk
menyatakan kesanggupannya dalam melakukan suatu pekerjaan atau untuk memenuhi
janji pada saat mendatang dengan menyandarkan diri pada kehendak Allah SWT.
Dengan ucapan tersebut ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan
suatu pekerjaan yang dibebankan kepadanya atau memenuhi janji dengan orang lain,
dan bukan malah sebaliknya digunakan untuk menyatakan ketidaksanggupan dalam
melakukan suatu pekerjaan. Dengan menyatakan kata in-sya Allaah
berarti menunjukkan suatu kepatuhan terhadap Allah, di mana seorang yang
mengucapkan kalimat tersebut berarti menyerahkan sepenuhnya segala keputusan
kepada Allah SWT.
Dalam
ajaran Islam adalah merupakan sesuatu yang dilarang mengungcapkan sesuatu yang
akan dilakukan ke depan atau berjanji dengan seseorang/sejumlah orang tanpa
mengucapkan kalimat in-sya Allaah. Dalam al-Qur’an bahwa
perintah atau anjuran mengucapkan kalimat in-sya Alaah terdapat
dalam surat al-Kahfi 18 [23-24].
وَلَا
تَقُولَنَّ لِشَاْيۡءٍ إِنِّي فَاعِلٞ ذَٰلِكَ غَدًا ٢٣ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ
وَٱذۡكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلۡ عَسَىٰٓ أَن يَهۡدِيَنِ رَبِّي لِأَقۡرَبَ
مِنۡ هَٰذَا رَشَدٗا ٢٤
Artinya; Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang
sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi
Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah". Dan
ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan
Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada
ini".
Ayat ini
turun sebagai celaan dan peringatan terhadap Nabi Muhammad saw atas ucapannya
terhadap orang-orang Quraisy yang menanyakan kepada beliau tentang roh, kisah Ashaab
al-kahfi (penghuni gua), dan kisah Dzulkarnain. “Besok aku kabarkan kepada
kamu jawaban atas pertanyaan kamu”. Ketika itu Nabi saw tidak memuji atau
menyebut nama Allah atau mengucapkan in-sya Allah. Maka turunlah ayat 23
dan 24 tersebut yang mengingatkan bahwa tidak boleh mengatakan atau menjanjikan
sesuatu kepada orang lain kecuali
mengaitkan dengan kehendak (masyi’ah) Allah SWT atau mengucapkan in-sya
Allah.
Menurut tafsir
Imam al-Qurthubi bahwa sebab turunnya dua ayat di atas adalah karena beberapa
orang Quraisy bertanya kepada Nabi Muhammad s.a.w. tentang roh, kisah ashhaab
al-Kahfi (penghuni gua) dan kisah Dzulqarnain lalu beliau menjawab:
“Datanglah besok pagi kepadaku agar aku ceritakan!”. dan beliau tidak
mengucapkan insya Allah (artinya jika Allah menghendaki). tapi kiranya sampai
besok harinya wahyu terlambat datang (bahkan riwayatnya sampai 15 hari) untuk
menceritakan hal-hal tersebut dan Nabi tidak dapat menjawabnya. Maka turunlah
ayat 23-24 di atas, sebagai pelajaran kepada Nabi; Allah mengingatkan pula
bilamana Nabi lupa menyebut insya Allah haruslah segera menyebutkannya kemudian.
Peristiwa
ini menunjukkan walaupun kedudukan
baginda Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasulullah Tidak lantas beliau
menjadikan dirinya dengan mudah memastikan apa yang akan terjai di kemudian
hari. Sekaligus mengajarkan kita bahwa hanya Allah SWT Yang Maha Kuasa dan Maha
Mengetahui atas segala sesuatu.
Konsekwensi
logisnya, bahwa berdasarkan keterangan tersebut “bila seseorang tidak
menyebutkan in-sya Allah, kemudian ia tidak menepati janjinya, maka ia
digolongkan pendusta. Namun bila ia menyebutkan in-sya Allah, kemudian
ia tidak dapat melakukannya setelah berusaha semaksimal mungkin, maka ia tidak
dapat digolongkan sebagai pendusta karena Allah SWT belum menghendakinya untuk
melakukannya”. (Ensiklopedi Islam PT. Ichtiar Baru Van Hoeve 1994)
Menurut
Imam al-Thabari bahwa orang yang mengucapkan in-sya Allah bila ia hendak
melakukan sesuatu menunjukkan bahwa ia mengaitkannya dengan kehendak Allah SWT
dan menunjukkan cerminan keyakinan seseorang bahwa tak ada sesuatu yang dapat
terwujud atau terjadi kecuali Allah SWT menghendakinya.
Juga
dalam al-Qur’an surat al-Baqarah 2 [70].
فَلَمَّا
دَخَلُواْ عَلَىٰ يُوسُفَ ءَاوَىٰٓ إِلَيۡهِ أَبَوَيۡهِ وَقَالَ ٱدۡخُلُواْ مِصۡرَ
إِن شَآءَ ٱللَّهُ ءَامِنِينَ
Artinya; Maka tatkala mereka masuk ke
(tempat) Yusuf: Yusuf merangkul ibu bapanya dan dia berkata: "Masuklah
kamu ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman"
Betapa pentingnya ungkapan kalimat in-sya Allah
ini, karena kita sebagai manusia tidak mengetahui secara pasti apa yang akan
terjadi di depan kita. Allah berfirman dalam surat Luqman 31 [34]
وَمَا
تَدۡرِي نَفۡسٞ مَّاذَا تَكۡسِبُ غَدٗاۖ
Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti)
apa yang akan diusahakannya besok.
Sebagai
salah satu contoh kongkrit orang yang menyebutkan kata in-sya Allah adalah
menunjukkan keseriusannya dan sebagai ungkapan tekad dalam melaksanakan kesanggupannya
untuk melakukan suatu perbuatan, dalam
hal ini tentu akan berdisplin tinggi dan berusaha sekuat tenaga untuk
mewujudkannya. Itulah yang dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim as atas putranya
Ismail. Dalam surat al-Saffat 37 [102]
قَالَ
يَٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا
تَرَىٰۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ
مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٠٢
Artinya; Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya
aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar".
Ayat ini
menunjukkan betapa Ismail mempunyai sikap benar-benar melaksanakan apa yang
dijanjikan dan taat terhadap apa yang dituntut darinya. Namun setelah nyata
kesabaran dan ketaatannya. Allah SWT melarang menyembelih Ismail dan
menggantikannya anak itu (Ismail) dengan seekor binatang sebagai sembelihan
yang besar.
Wallahu a’lam bi al-shawaab.
Karawang, 18-10-2019