Etika Pemimpin dalam al-Qur’an
Oleh: Masykur H Mansyur (IAIN Syekh
Nujati Cirebon DPK Unsika Karawang)
Terdapat berbagai kisah yang ditampilkan dalam al-Qur’an yang
ada relevansinya dengan kehidupan kita sekarang ini. Al-Quran telah menampilkan
sejumlah kisah dari mulai figur positif dan sekaligus figur negatif. Ada kisah
pembela kebenaran seperti kisah para Nabi dan Rasul serta ada juga kisah-kisah
kaum/tokoh yang diadzab oleh Allah karena kedzaliman mereka; seperti Fir’aun,
Tsamud, ‘Ad, Abraha, Tubba’ Saba’ dan sebagainya.
Salah satu figur positif di antara figur tersebut yang
dibahas dalam khutbah singkat ini ialah cuplikan kisah Nabi Sulaiman dan
Penguasa Saba’, yang diceritakan di dalam beberapa surah al-Quran, khususnya
dalam surah an-Naml dan surah Saba’.
Sebagaimana
disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir dalam surat an-Naml 27 [20] Mujahid, Sa’id
bin Jubair dan lain-lain berkata dengan sanad yang berasal –dari Ibnu ‘Abbas
dan Shahabat lainnya berkata: “Hud-hud adalah binatang ahli dalam memberi
arahan kepada Sulaiman tentang air. Jika beliau sedang berada di padang pasir,
beliau memintanya untuk meneliti air yang berada di tapal batas, seperti
manusia melihat sesuatu yang tampak di permukaan tanah. Jika burung Hud-hud
telah memberikan petunjuk tentang hal tersebut, maka Nabi Sulaiman segera
memerintahkan jin untuk menggali termpat tersebut sehingga memancar air dari
dasarnya.
Suatu
ketika Nabi Sulaiman menyelenggarakan rapat lengkap, yang diikuti oleh Jin,
Burung dan Manusia, tetapi ada salah satu peserta rapat yang tidak hadir ialah
Hud-hud, yaitu utusan dari bangsa burung, Dan dia memeriksa burung-burung
itu, lalu berkata; mengapa aku tidak melihat Hud-hud, apakah ia termasuk yang
tidak hadir?. [27:20] Nabi Sulaiman bertanya-tanya, apa sebab dia tidak
hadir, apakah dia sakit?, atau dia memisahkan diri dari barisan? Atau ditangkap
dan dimakan oleh binatang buas?. Karena Hud-hud nggak muncul-muncul beliaupun
marah, tetapi kemarahannya dikendalikan oleh kearifannya sebagai seorang
pemimpin. Pasti akan kusiksa dia dengan siksa yang berat, atau kusembelih
dia, kecuali jika ia datang kepadaku dengan alasan yang jelas, [27:21].
Betul saja. Maka tidak lama kemudian (datanglah Hud-hud), lalu berkata ““Aku
telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya dan kubawa kepadamu dari
negeri Saba’ suatu berita penting yang diyakini,[27:22] Dari sisi
ini Hud-hud beralasan dan meyakinkan Nabi Sulaiman bahwa ketidak hadirannya bukan
karena lari dari tanggung jawab, melainkan ada hal rahasia penting yang ia
ketahui, yang belum tentu diketahui oleh Nabi Sulaiman. Dan hal penting lainnya
bahwa ia baru saja kembali dari perjalanan jauh yaitu ke negeri Saba’ yang
terletak di selatan jazirah Arab, sedangkan kerajan Nabi Sulaiman berada di
utara. Sulaiman mendengarkan dan menganalisis secara seksama argumentasi Hud-hud.
Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka dan dia
dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar [27:23].
Burung Hud-hud masih melanjutkan laporannya Aku mendapati dia dan kaumnya
menyembah matahari, selain Allah, dan syetan telah menjadikan mereka memandang
indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah),
sehingga mereka tidak dapat petunjuk [27:24].
Sebetulnya
burung Hud-hud ini menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir fi Zhilalil Qur’an
“Sesungguhnya burung Hud-hud ini mempunyai pemahaman, kecerdasan, keimanan,
keindahan tutur kata dan susunan kalimat dalam melaporkan suatu peristiwa daya
respon yang sensitif dalam sikapnya, dan isyarat yang sangat tajam. Ia
betul-betul mengetahui bahwa wanita itu adalah Ratu kerajaan Saba’ dan
pengikut-pengikutnya adalah rakyatnya, Ia mengetahui
bahwa mereka semua menyembah dan bersujud kepada matahari dan tidak menyembah
Allah, ia mengetahui bahwa sujud itu hanya dilakukan kepada Allah”.
Sebagai
seseorang yang memiliki sense of priority, laporan-laporan dari staf
Nabi Sulaiman tidak dipetieskan tetapi langsung segera ditindaklanjuti dengan
mengecek kembali, maka diutuslah kembali burung Hud-hud untuk mengantarkan
surat kepada Ratu Bilqis.
اذْهَبْ بِكِتَابِي هَذَا فَأَلْقِهِ إِلَيْهِمْ ثُمَّ تَوَلَّ
عَنْهُمْ فَانْظُرْ مَاذَا يَرْجِعُونَ (Pergilah
dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkanlah kepada mereka, kemudian
berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan”).[27:28].
Tidak lama kemudian, burung Hud-hud membawa surat itu kepada Ratu Balqis,
pemimpin negeri Saba’ ketika itu. Sebagai seorang pemimpin tertinggi negeri
Saba’, ia tidak mau gegabah dan mengambil tindakan sendiri, tetapi ia segera
mengumpulkan para petingginya: قَالَتْ يَاأَيُّهَا الْمَلَأُ إِنِّي أُلْقِيَ إِلَيَّ
كِتَابٌ
كَرِيمٌ (Berkata
ia (Balqis): “Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku
sebuah surat yang mulia). [27:29]. Redaksi surat Nabi Sulaiman cukup
singkat tetapi sarat dengan makna: إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ.
(Sesungguhnya surat itu, dari Sulaiman
dan sesungguhnya (isi) nya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang [27:30]. َ ألَّا تَعْلُوا عَلَيَّ وَأْتُونِي
مُسْلِمِيْنَ
Bahwa
janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku
sebagai orang-orang berserah diri” [27:31].
Reaksi
Pemimpin negeri Saba’ sangat hati-hati menanggapi surat Nabi Sulaiman. Ia
meminta pendapat dan saran para pembesarnya mengenai langkah-langkah yang akan
diambil: قَالَتْ
يَاأَيُّهَا الْمَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنْتُ قَاطِعَةً أَمْرًا
حَتَّى تَشْهَدُونِ
(Berkata
dia (Balqis): “Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini)
aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam
majelis-(ku)” [27:32]. Pola kepemimpinan yang terbuka seorang pemimpin
disambut dengan sikap tawadhu’ dari para petingginya: قَالُوا نَحْنُ أُولُو قُوَّةٍ وَأُولُو
بَأْسٍ شَدِيدٍ وَالْأَمْرُ إِلَيْكِ فَانْظُرِي مَاذَا تَأْمُرِينَ (Mereka menjawab: “Kita adalah
orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat
(dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa
yang akan kamu perintahkan”). [27:33].
Sebagai
seorang pemimpin yang punya visi dan kecerdasan yang tinggi, ia sepenuhnya
sependapat dengan saran para pembesarnya untuk tidak menggunakan
kekerasan di dalam menyikapi suatu persoalan, meskipun ia tidak menafikan
kemungkinan itu. Ia menyampaikan strategi yang sebaiknya diambil: وَإِنِّي مُرْسِلَةٌ إِلَيْهِمْ بِهَدِيَّةٍ فَنَاظِرَةٌ بِمَ
يَرْجِعُ الْمُرْسَلُونَ (Dan sesungguhnya aku akan mengirim
utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang
akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu). (35). Ia mengutamakan
pendekatan diplomasi selama itu masih memungkinkan. Ia memutuskan untuk
mengirimkan bingkisan yang bernilai tinggi kepada Nabi Sulaiman dengan harapan
kedua negeri ini menghindari jalan kekerasan. Sementara di pihak lain, Nabi
Sulaiman tidak kalah cerdas dan kayanya. Ia menukar bingkisan itu dengan
sesuatu yang lebih berharga dengan cara-cara yang amat canggih, sehingga proses
penukaran itu tidak sempat dideteksi oleh pasukan Ratu Balqis. Akhirnya, kedua
kerajaan ini menyatu dan membangun sinergi dengan cara terhormat dan beradab.
Kecerdasan
dan kearifan pemimpin negeri Saba’ mendapatkan pengakuan di dalam al-Quran: لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ
ءَايَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ
وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ (Sesungguhnya
bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, yaitu
dua buah kebun di sebelah kanan dan sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan):
“Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang
Maha Pengampun”). (Q.S. Saba’ [34:15].
Figur
Ratu Balqis, pemimpin negeri Saba’, selain memiliki singgasana besar (‘arsyun
‘azhim) negerinya juga dilukiskan sebagai Baldatun Thayyibatun wa Rabbun
Ghafur, yang merupakan obsesi setiap negeri muslim. Sayang sekali kejayaan
negeri ini tidak dapat dipertahankan karena para penerusnya meninggalkan
pola-pola ideal kepemimpinan para pendahulunya. فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ
سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ
خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ (Tetapi mereka
berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti
kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah
pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr). [34:16].
Prof
Nazarudin Umar mengatakan pelajaran berharga yang dapat diperoleh dari
kisah di atas adalah sebagai berikut:
- Kejujuran, konsistensi,
kecerdasan, kearifan, keterbukaan, dan sikap demokratis seorang pemimpin
merupakan faktor kunci bagi pencapaian tujuan dan cita-cita sebuah bangsa.
Sebaik apapun sebuah sistem tidak banyak gunanya tanpa kehadiran figur
ideal seperti tadi;
- Figur yang berpotensi memiliki
julukan pemilik ‘arsyun ‘azhim (singgasana besar) sebagai lambang
supremasi kewibawaan sebuah negeri dan Baldatun Thayyibatun wa Rabbun
Ghafur sebagai simbol ideal sebuah negeri, ternyata tidak hanya
terdapat di negeri-negeri yang secara formal mencantumkan Islam sebagai
dasar konstitusi, tetapi juga di sebuah bangsa yang secara substansial
menerapkan prinsip-prinsip universal Islam;
- Pemimpin yang sukses tidak
mesti hanya dari kalangan pria, tetapi kisah al-Quran di atas membuktikan
adanya seorang perempuan, yakni Ratu Balqis, yang berhasil menjadi
penguasa sukses;
- Pola kepemimpinan ideal tidak
hanya bisa diterapkan di dalam masyarakat Islam, tetapi juga di dalam
masyarakat pluralistik. Dengan kata lain, tanpa harus menunggu untuk
menjadi Negara Islam, nilai-nilai dasar kepemimpinan Islami sudah dapat
diterapkan. Masyarakat Saba’ yang pada awalnya adalah masyarakat penyembah
matahari, tetapi mampu menciptakan sebuah masyarakat yang tangguh dan
Islami;
- Langgengnya sebuah rezim di
dalam suatu masyarakat ditentukan oleh seberapa jauh para penguasa dapat
mempertahankan nilai-nilai luhur para pendahulunya. Modernitas dan
perubahan merupakan sifat alamiah, tetapi mempertahankan nilai-nilai luhur
yang masih relevan dan mengakomodir nilai-nilai baru yang lebih positif,
itulah yang menjadi inti pola kepemimpinan profetik (kenabian), walaupun
menurut Ibn Khaldun hal ini sulit dicapai karena setiap generasi adalah
anak zamannya. Ada generasi perintis, ada generasi pembangun, ada generasi
penikmat, dan akhirnya ada generasi perusak;
- Faktor lain ialah tingginya
partisipasi dan dukungan masyarakat secara komprehensif, yang ditandai
dengan hidupnya semangat musyawarah di dalam masyarakat. Hal ini sejalan
dengan ayat: وَشَاوِرْهُمْ
فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
itu. Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya. (QS. Āli ‘Imran [4]: 159);
- Figur pemimpin yang diwarnai
dengan kecurangan, kerakusan, dan kezhaliman dalam kisah-kisah al-Quran
semuanya berakhir dengan kondisi yang memprihatinkan. Sehebat apapun
Fir’aun yang pernah melantik dirinya sebagai Tuhan (ana rabbukum
al-a’la), tetapi akhirnya tersungkur di lautan kehinaan. Sebaliknya,
pemimpin ideal yang bersahaja, memegang teguh amanah, menghargai
konstituennya, dan menjauhi segala bentuk ketidakjujuran, semuanya
berakhir dengan mengesankan, bahkan dipuji oleh sejarah.
Penutup
Cuplikan
kisah tersebut mudah-mudahan membawa inspirasi baru buat kita sebagai anggota
masyarakat bangsa Indonesia yang kini sedang berusaha menciptakan model
kepemimpinan yang sesuai dengan kondisi obyektif masyarakat kita. Kisah-kisah
dalam al-Quran semestinya memberikan pelajaran kepada kita semua, baik sebagai
pemimpin maupun sebagai anggota masyarakat. Pemimpin ideal dan masyarakat yang
adil berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Kondisi
bangsa kita yang pluralistik membutuhkan pengertian dan kearifan, baik sebagai
pemimpin maupun sebagai rakyat. Kearifan dan kecerdasan seperti yang dimiliki
oleh Nabi Sulaiman dan Pemimpin Saba’ perlu juga dimiliki oleh para pemimpin
bangsa ini. Para elit politik seharusnya banyak belajar tentang kisah
jatuh-bangunnya sebuah rezim dan hidup matinya sebuah bangsa di dalam al-Quran.
Perlu diketahui bahwa al-Quran telah memberikan warning (peringatan)
bahwa ajal tidak hanya dipunyai oleh seorang individu tetapi juga kelompok
masyarakat. Likulli ummatin ajalun (setiap ummat atau rezim mempunyai
ajal). Panjang atau pendeknya sebuah rezim menurut al-Quran ditentukan seberapa
jauh seorang pemimpin berpegang teguh kepada nilai-nilai ideal kemanusiaan dan
kemasyarakatan, seperti yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul. Wallahu a’lam.