KEKUATAN CINTA DAN KEDALAMAN JIWA
PENGORBANAN CINTA
OLEH MASYKUR H MANSYUR
FAKULTAS AGAMA ISLAM UNSIKA KARAWANG
Vilfredo Pareto (1848 – 1923) mengemukakan suatu teori “Circulation
of the Elites bahwa kelompok kecil dari kumpulan orang-orang elit dalam
sebuah komunitas memiliki pengaruh besar pada sebagaian populasi. Ada
pernyataan Pareto yang sangat masyhur yaitu perbuatan dan kebiasaan manusia
dapat diklasifikasikan dalam logis dan non logis. Bahwa kita hidup, bekerja,
mencari uang, memakai pakaian, berpikir, belajar, mencumbu satu sama lain dan
lain-lain – semua tindakan dan kebiasaan seperti ini adalah logis karena dapat
membawa kita ke hasil-hasil yang logis. Sebagai misal, seorang duduk di atas
lututnya menyirami badannya dengan bensin dan kemudian membakar dirinya secara
sengaja dan sadar agar negaranya dapat diselamatkan dari api yang lebih besar.
Ini adalah perbuatan yang tidak logis karena ia melakukannya tanpa menuntut
suatu imbalan, ganjaran atau kompensasi.
Suatu hari Friedrich Wilhelm
Nietzsche (1844-1900) seorang Filosof
Jerman dan ahli Filologi berjalan menyusuri suatu jalan dimana ia melihat
seekor kuda yang berusaha keras untuk keluar dari sebuah parit, bernafas
terengah-engah dibawah muatan berat dari sebuah kereta yang terjungkir di
atasnya. Nietzche mengamati si pemilik sedang berusaha memaksa kuda itu agar
keluar dari himpitan sehingga ia tidak akan kehilangan muatan keretanya.
Binatang itu sudah demikian terjerembab untuk bergerak, tetapi si pemilik yang
nampaknya terlalu sayang pada muatan kereta dari pada keselamatan kudanya,
mulai mengayunkan cemeti di atas punggung kuda secara sangat bengis. Kuda itu
mulai bergerak sedikit keluar dari parit tersebut, tetapi ia gagal dan terjatuh
kembali ke dalam parit, salah satu kakinya patah dan kelihatan sangat payah.
Marah menyaksikan pandangan yang sangat mengerikan akibat brutalitas manusia
tersebut, filosof tua itu memberitahukan si petani agar memberhentikan
cambuknya pada kuda yang malang itu. Ia menasihati agar pertama-tama muatan itu
agar diambil terlebih dahulu, baru kemudian kuda itu ditolong keluar dari
parit. Tetapi si pemilik tidak menggubris kata-kata Nietzche. Karena itu terus menghujani
cambukan dan mendorong kuda itu. Hal membuat marah sang filosof sedemikian rupa
sehingga ia melompat dan memegang leher baju si petani, sambil berkata; “Saya
tidak akan membiarkanmu mencambuk binatang malang ini begitu kejam!”. Akan
tetapi petani itu melepaskan diri dan memukul jatuh Nietzche dan kemudian memukulnya
sangat keras, sehingga ia meninggal beberapa hari emudian. Filosof yang dimasa
mudanya mencintai kekuasaan dan kekauatan serta memujanya, sekarang berdiri
melawan kekuatan itu untuk menyelamatkan makhluk yang lemah dan terinjak-injak;
akhirnya ia mengorbankan dirinya untuk suatu cita-cita kemanusiaan.
Jika kita mendengar cerita ini kita
akan bereaksi dengan satu perasaan kontradiktif. Kita menyadari bahwa kontradiksi
perasaan kita terhadap peristiwa itu disebabkan karena kita memiliki dua
kepribadian dalam ke-aku-an (I-ness). Kepribadian pertama kita menghargai
keagungan spiritual Nietzche, sentimen moral dan nuraninya yang responsif. Ia
akan ikut menyertai tindakpengorbanan itu dalam menyelamatkan suatu makhluk
yang malang dari tirani manusia. Ini adalah kepribadian manusiawi kita yang
selalu sensitive untuk selalu mentoleriri suatu pemandangan yang kejam dan mengerikan.
Tetapi kita mempunyai kepribadian lain yang akan bereaksi terhadap kejadian di
atas dengan cara lebih praktis. Ia akan mencemooh pengorbanan Nietzche atas
dirinya demi seekor binatang angkutan. Ia akan melihat seluruh peristiwa itu
sebgai lucu dan absurd. “Seorang genius besar dalam sejarah mengorbankan
hidupnya yang sangat bermanfaat demi menyelamatkan seekor kuda ?. Alangkah
pandirnya?. Betapa lucu dan tidak masuk akal”. Demikianlah ia akan melakukan
rasionalisasi.
Tindakan Nietzche di luar logika.
Logika terlalu sempit untuk dapat membenarkannya. Tindakannya adalah tindakan
murni berdasarkan cinta - sebagai esensi
kesadarannya. Namun jika cinta diambil untuk mengabdi suatu kepentingan
pribadi, untuk memenuhi suatu keinginan, untuk memuaskan suatu harapan, itu
bukan cinta. Itu adalah dagang. Cinta adalah memberi, bukan mengambil atau
kompensasi. Cinta adalah memilih dirinya mati agar yang lain bisa hidup, agar
suatu cita-cita menang, agar suatu impian menjadi kenyataan ! Ini adalah makna
sesungguhnya dari i-thar yang berarti memberikan nyawa sendiri agar yang lain
bisa hidup, memilih yang lain hidup sebagai ganti dirinya, dan mengorbankan
diri sendiri, supaya yang lain dapat hidup. Jika ia mengetahui bahwa
kematiannya akan menyelamatkan suatu kehidupan atau cita-cita, ia memilih mati,
agar yang lain hidup, ia akan memilih kematian dirinya, kematian
kepentingannya, namanya, kekayaannya, segala yang ia miliki – agar supaya yang
lain dapat diselamatkan.
Cerita di atas disarikan dari buku “Man
and Islam” karya Ali Shariati yang diterjemahkan oleh M.
Amin Rais “Tugas Cendekiawan Muslim”.
Itu adalah makna cinta. Yaitu cinta
sebagai suatu kekuatan yang mendambakan pengorbanan. Mengorbankan seluruh
miliknya, keuntungannya, kepentingannya, bahkan hidupnya sendiri demi mereka
yang ia cintai dan demi cita-cita yang ia perjuangkan.
Kalau
kita persembahkan kekuatan cinta ini kepada ibadah kepada Allah, yaitu ibadah
yang mencakup segala hal yang disukai dan diridhai Allah, baik itu berupa lisa maupun tindakan
yang lahir ataupun yang tersembunyi. Perspektif ibadah seperti inilah yang harus
ditanamkan oleh kita semua, sehingga kita semua selalu bersemboyan seperti yang
digambarkan oleh Allah, dalam al-Qur’an surat al-An’am 6 :[162]
قُلۡ
إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٦٢
162.
Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam.
Kalau
kita sudah bersedia mengorbankan hanya untuk Allah semata, maka manusia sudah
bergerak menuju ke arah menjadi manusia (sempurna). Wallahu a’lam.
Karawang, 4
November 2016. (Masykur H Mansyur).