Ajaran Islam sangat menekankan hubungan manusia dengan Allah SWT secara vertikal
dan juga hubungan antar sesama manusia secara horizontal. Hal ini terlihat dari
doktrin iman dan amal saleh. Kedua konsep ini merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainya, karena apabila salah
satu dari keduanya hampa, maka kesempurnaan dari salah satunya akan berkurang.
Iman tanpa amal itu hampa, sedangkan amal tanpa iman itu percuma. Iman adalah
fondasi sedangkan amal adalah implementasi. Hal ini sesuai dengan hadits
Rasulullah saw. bahwa Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak
pula menerima amal perbuatan tanpa iman.” (HR. Ath-Thabrani).
Orang yang berman
dan beramal shaleh kekal dalam surga, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an
surat al-Baqarah 2 [82].
وَٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَنَّةِۖ هُمۡ
فِيهَا خَٰلِدُونَ ٨٢
82. Dan orang-orang yang beriman serta
beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.
Pada saat manusia meninggalkan dunia
ini, sederet daftar amal perbuatan yang pernah dilakukan akan ditunjukkan
kepada manusia. Amal adalah teman kita ketika waktunya berakhir. Isteri, suami,
anak, bapak, ibu, kerabat, tetangga, dan harta yang kita cintai tak lagi kenal siapa
sosok kita. Amal itulah yang akan
berbicara dengan sejujur-jujurnya dan sebenar-benarnya tentang siapa kita, dan
semua apa yang telah pernah kita perbuat dari ujung ramput sampai ujung kaki. Akan
tampak dihadapan kita. Allah SWT mengingatkan dalam firmannya surat Yasin 36
[65].
ٱلۡيَوۡمَ
نَخۡتِمُ عَلَىٰٓ أَفۡوَٰهِهِمۡ وَتُكَلِّمُنَآ أَيۡدِيهِمۡ وَتَشۡهَدُ
أَرۡجُلُهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ ٦٥
65. Pada hari ini Kami tutup mulut
mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki
mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan
Bagi setiap orang yang beramal baik,
maka akan mendapatkan ganjaran dan kebahagiaan, sebaliknya bagi yang beramal
buruk, juga akan mendapatkan ganjaran yaitu kesengsaraan. Dan bagi yang beramal
buruk, niscaya perasaannya di waktu itu akan lain. Sekiranya hal itu dapat
dielakkan, niscaya akan ia elakkan, atau dia minta supaya diperlambat atau
diundur-undur. Dia takut menghadapi kenyataan sehingga dia mengharap supaya
diantara dia dan ganjaran amalnya itu diadakan jarak yang jauh. Allah berfirman
dalam al-Qur’an surat Ali Imran 4 [30].
يَوۡمَ
تَجِدُ كُلُّ نَفۡسٖ مَّا عَمِلَتۡ مِنۡ خَيۡرٖ مُّحۡضَرٗا وَمَا عَمِلَتۡ مِن
سُوٓءٖ تَوَدُّ لَوۡ أَنَّ بَيۡنَهَا وَبَيۡنَهُۥٓ أَمَدَۢا بَعِيدٗاۗ
وَيُحَذِّرُكُمُ ٱللَّهُ نَفۡسَهُۥۗ وَٱللَّهُ رَءُوفُۢ بِٱلۡعِبَادِ ٣٠
30. Pada hari ketika tiap-tiap diri
mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang
telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa
yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan Allah sangat
Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.
Dengan demikian manusia akan
dihadapkan kepada neraca (mizan) untuk menimbang amal perbuatan yang telah
dilakukakan. Seberat apapun perbuatan baik kita, seberat zarah sekalipun tetap
akan ditempatkan dalam satu timbangan kebaikan. Sebaliknya, perbuatan jahat dalam
satuan yang sama tetap akan ditempatkan dalam timbangan kejahatan. Adapun orang-orang
yang berat timbangan kebaikannya, dia berada dalam kehidupan memuaskan. Dan adapun
orang-orang yang ringan timbangan kebaikannya maka tempat kembalinya adalah Hawiyah.
Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu, yaitu api yang sangat panas. Al-qur’an surat
al-Qari’ah 101 [6-11].
فَأَمَّا
مَن ثَقُلَتۡ مَوَٰزِينُهُۥ ٦ فَهُوَ
فِي عِيشَةٖ رَّاضِيَةٖ ٧ وَأَمَّا
مَنۡ خَفَّتۡ مَوَٰزِينُهُۥ ٨ فَأُمُّهُۥ
هَاوِيَةٞ ٩ وَمَآ
أَدۡرَىٰكَ مَا هِيَهۡ ١٠ نَارٌ
حَامِيَةُۢ ١١
Dalam salah satu suratnya al-Ghazali
menjelaskan, timbangan (kebaikan) orang-orang kaya akan ringan pada hari itu. Mereka
menghabiskan uang untuk memuaskan nafsu kebinatangan mereka. Sedangkan timbangan
(kebaikan) orang-orang yang hina akan berat. Mereka menggunakan uang mereka
untuk menjalankan perintah Allah. Meski demikian, orang-orang menghabiskan
seluruh kekayaannya untuk bersedekah akan memperoleh keselamatan yang sempurna.
Mereka pasti akan terhindar dari bahaya yang terdapat dalam pemilikan
benda-benda keduniaan.
Suatu kali Rasulullah duduk dengan para
sahabat. Beliau kemudian bersabda, “Akan datang kepada kalian seorang lelaki
penghuni surga.” Kemudian muncul lelaki, janggutnya masih basah oleh air wudhu,
sementara tangannya menjinjing sandal. Tak ada yang teramat istimewa dari sosok
lelaki ini. Hari berikutnya, Rasulullah kembali bersabda, “Akan datang kepada
kalian seorang lelaki penghuni surga.” Sejurus kemudian, lelaki yang sama
muncul lagi. Masih dengan sandal yang dijinjing dan janggut yang basah oleh air
wudhu.
Tak berhenti di situ, Rasulullah kembali
mengulangi perkataan yang sama. Kemudian, lelaki tersebut muncul lagi. Padahal,
tak ada yang istimewa dalam diri lelaki tersebut. Rasa penasaran pun membuncah
di dada Abdullah bin Amr bin Ash. Maka, diikutinya lelaki tersebut hingga ke
rumahnya.
“Duhai saudaraku,”
ujar Abdullah memulai percakapan, “sungguh aku sedang berselisih dengan orang
tuaku. Aku tidak akan berbicara kepadanya selama tiga hari. Bolehkah aku
menginap di rumahmu barang tiga hari.” Lelaki itu pun tak keberatan. Maka
Abdullah resmi menjadi tamunya sekaligus 'mata-mata'. Abdullah begitu
penasaran, amalan apakah yang dilakukan lelaki ini sehingga Rasulullah
menyebutnya lelaki penghuni surga. Satu, dua, hingga malam ketiga tak ada
amalan yang spesial didapati Abdullah. Lantas ia pun berterus terang.
“Saudaraku sesungguhnya aku tidak sedang berselisih dengan orang tuaku,”
Abdullah mengakui maksudnya. “Lantas kenapa kau ingin tinggal di rumahku,”
tanya lelaki itu.
“Aku ingin
mengetahui amalanmu sehingga Rasulullah tiga kali menyebutmu sebagai lelaki
penghuni surga. Namun saudaraku, aku tidak mendapatimu memiliki amalan yang
spesial,” urai Abdullah. Lelaki itu menjelaskan rahasia amalnya. “Benar,
amalanku hanya yang engkau lihat. Hanya saja, aku tidak pernah berbuat curang
kepada seorang pun, baik kepada Muslimin ataupun selainnya. Aku juga tidak
pernah iri ataupun hasad kepada seseorang atas karunia yang telah diberikan
Allah kepadanya.”
Terjawab sudah rasa penasaran Abdullah. Meski
lelaki tersebut tak rajin Tahajud, shalat Dhuha, bersedekah, atau amalan sunah
lainnya, namun ia memiliki satu amalan unggulan. Di hatinya, tiada pernah
tebersit rasa hasad atau iri atas karunia yang diberikan Allah kepada hambanya.
Sungguh sebuah amalan yang sangat berat.
Adalah Abubakar
al-Siddiq, sebagaimana diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib ra, bahwa Abubakar
bersedekah hampir seluruh harta kekayaan yang dimilikinya, hampir-hampir tak
lagi tersisa bagi keluarganya. Semua harta yang dimiliki di sedekahkan. Sampai-sampai
Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam, menegur Abubakar ra, "Apa
yang engkau gunakan membiayai hidupanmu dan keluargamu, wahai Abubakar, sesudah
seluruh hartamu engkau sedekahkan?". Abubakar al-Sidiq, dan dengan tandas
mengatakan, "Aku masih mempunyai Allah dan Rasul", tukasnya.
Pada suatu hari
Abdul-Rahman bin ‘Auf mendengar Rasulullah saw bersabda;
ياَ
ابنَ عَوْ فٍ إنَّكَ مِنَ الأَغْنِيَاءِ ..... وَإنَّكَ سَتَدْخُلُ الْجَنَّةَ حَبْوًا ..... فأقْرِضِ اللَهَ يُطْلِقْ لَكَ قَدَمَيْكَ
Wahai Ibnu ‘Auf ! anda termasuk golongan orang kaya ….dan anda akan
masuk surge dengan merangkak ….pinjamkanlah kekayaan itu kepada Allah, pasti
Allah mempermudah langkah anda.
Semenjak mendengar nasihat Rasulullah tersebut, maka Abdul-Rahman
bin ‘Auf sangat antusias untuk membelanjakan hartanya di jalan Allah, dan Allah-pun
memberi ganjaran kepadanya berlipat ganda. Di suatu hari ia menjual tanah
seharga empat puluh ribu dinar, kemudian uang itu dibagi-bagikan semua untuk
keluarganya dari Bani Zuhrah, untuk para isteri Nabi dan untuk kaum fakir
miskin.
Pada kesempatan yang lain lima ratus ekor
kuda untuk perlengkapan balatentara Islam. Dan di hari yang lain seribu lima
ratus kendaraan. Menjelang wafatnya beliau berwasiat lima puluh ribu dinar untuk
jalan Allah, lalu diwasiatkannya pula bagi setiap orang yang ikut perang Badar
dan masih hidup, masing-masing empat ratus dinar, hingga Usman bin Affan r.a.
yang terbilang kaya juga mengambil bagiannya dari wasiat tersebut, serta
berkata; “Harta Abdul-Rahman bin ‘Auf halal lagi bersih, dan memakan harta itu
membawa selamat dan berkat”.
Sikap dan sifat
seperti ini sudah dijelaskan oleh Allah swt melalui firman-Nya dalam al-Qur’an
surat al-Syuura 42 [36].
فَمَآ أُوتِيتُم مِّن
شَيۡءٖ فَمَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ خَيۡرٞ وَأَبۡقَىٰ
لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ ٣٦
36.
Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan
yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang
beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal
Prof. Hamka dalam menafsirkan ayat
ini bahwa …..segala nikmat yang kita terima di dunia ini, hakikatnya sedikit
sekali. hanya semata-mata hiasan atau bekal sementara. Harta benda, emas, perak,
gedung indah, istana, gubuk reyot, kendaraan berabagai ragam, semua hanya
sementara. Tempo buat kita memakainya betul-betul sangat pendek sekali. sebab
semua itu hanya nikmat sementara. Tetapi semua wajib kita syukuri. Dan kitapun
wajib pula melatih jiwa agar segala pemberian dunia itu jangan sekali-kali
memikat hati kita. Sudah menjadi tabiat manusia meminta yang lebih banyak. Ayat
ini menjelaskan keinginan kepada yang lebih itu, kepada yang lebih kekal.
Lalu bagaimana
dengan amalan kita?, Mari kita bertanya kepada diri sendiri amalan unggulan apa
yang sudah kita miliki? Memang hanya ridha Allah sajalah yang bisa memasukkan
kita ke dalam surga, namun pantaskah diri ini yang telah diberi teramat banyak
kemudahan lantas menjauhi-Nya. Wasilah paling mudah untuk bersyukur dan
berdekatan dengan Rabb yang menciptakan kita ialah dengan amal ibadah kita.
Para sahabat utama
telah menorehkan amal shaleh mereka jika Bilal bin Rabah tak pernah putus wudhu
sehingga bunyi terompahnya terdengar di surga, lantas apa amalan kita? Jika
Abubakar menginaqkan seluruh hartanya untuk kemuliaan Islam, lantas apa amalan
kita? Jika Khalid bin Walid berjihad dan memenangkan pasukan Islam, kemudian
apa amalan kita? Jika Zaid bin Tsabit
sang penulis wahyu, Ibnu Abbas ulama para sahabat, Utsman bin Affan sang
dermawan nan pemalu, Umar bin Khattab sang pemberani lagi peduli telah
menorehkan tinta emas dalam sejarah Islam lewat amalan unggulannya. Jika
Abdul-Rahman bin ‘Auf mendengar nabi bersabda bahwa ia menuju surga dengan
merangkak, kemudian dengan semangat menginaqkan hartanya untuk kepentingan
Islam dan umat Islam. Lalu amalan apa
yang mesti kita persembehkan untuk kejayaan dan kemuliaan Islam dan umatnya ?.
Memperhatikan apa yang
telah dilakukan oleh para sahabat yang mulia ternyata amal kebaikan yang
dikerjakan bukan untuk Tuhan, tetapi untuk kebaikan manusia itu sendiri baik di
dunia mapun di akhirat. Orang yang sudah berbuat baik janganlah merasa berbuat
baik untuk Tuhan. Bahkan amal shaleh juga disebut mendorong terkabulnya do’a.
prinsip ini sesuai denga al-Qur’an surat Fathir 35 [10]
مَن
كَانَ يُرِيدُ ٱلۡعِزَّةَ فَلِلَّهِ ٱلۡعِزَّةُ جَمِيعًاۚ إِلَيۡهِ يَصۡعَدُ ٱلۡكَلِمُ
ٱلطَّيِّبُ وَٱلۡعَمَلُ ٱلصَّٰلِحُ يَرۡفَعُهُۥۚ وَٱلَّذِينَ يَمۡكُرُونَ ٱلسَّئَِّاتِ
لَهُمۡ عَذَابٞ شَدِيدٞۖ وَمَكۡرُ أُوْلَٰٓئِكَ هُوَ يَبُورُ ١٠
10.
Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu
semuanya. Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh
dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab
yang keras. Dan rencana jahat mereka akan hancur
Artinya, hakikat kemuliaan yang kita
dapatkan adalah karena anugerah dari Allah SWT, bukan karena pemberian orang
lain.
Orang yang mencari kemuliaan dengan
mengumpulkan harta, atau mencari kemuliaan dengan mengjar pangkat, atau
mengejar kemuliaan dengan kegagahan-keperkasaan dengan menindas yang lemah
karena merasa kuat, menipu yang bodoh karena merasa lebih pintar, atau menyusun
perkataan yang baik padahal hati busuk dan amal yang saleh tidak ada sebagai
bukti, maka kemuliaan yang mereka capai adlah omong kosong atau tipu daya hidup
belaka. Kemudian yang dimaksud dengan rencana jahat adalah orang yang bukan
saja tidak mau menerima seruan Rasul kepada jalan yang benar, bahkan membuat
pula rencana hendak menghambar atau menghambat, atau menyabot segala usaha
kebaikan itu. Demikian cuplikan Prof.
Hamka menafsirkan ayat tersebut.
Wallahu a’lam
bi al-shawaab. Karawang, Jum’at sore 16-3-2018.
مشكور منصور
Tidak ada komentar:
Posting Komentar