PENDIDIKAN KELUARGA ISLAMI
MEMILIH PASANGAN HIDUP
MEMILIH CALON SUAMI YANG BAIK
Oleh: Masykur H Mansyur
Fakultas Agama Islam
Unsika Karawang
Diantara kita ada
yang mengungkapkan perasaan cintanya kepada seseorang secara terang-terangan.
Seperti misalnya seorang pemuda mengatakan “saya mencintaimu seratus prosen”
atau “saya ingin melamarmu”, atau “saya ingin menikahimu”. Ada kalanya juga
yang melakukannya dengan cara malu-malu atau secara implisit, dengan sindiran
atau dengan indikasi. Seperti misalnya, “kamu sangat layak dan cocok untuk
dinikahi”, atau dengan mengatakan “seseorang yang mendapatkanmu pastilah dia
yang paling beruntung”, atau berkata kepada perempuan yang kita taksir “saya
sedang mencari perempuan shalehah sepertimu”.
Ungkapan-ungkapan seperti itu biasanya seorang perempuan merasakan semakin
tersanjung dan melayang-layang pikirannya.
Di masyarakat
kita, sudah menjadi sesuatu yang lazim bahwa pihak laki-laki-lah yang melamar
pihak wanita, dan hanya sedikit pihak perempuan yang melamar pihak laki-laki.
Dalam ajaran Islam memang pihak lelaki-lah yang melamar, bukan pihak perempuan,
akan tetapi tidak menutup kemungkinan pihak perempuan bisa juga melamar pihak laki-laki.
Khitbah atau
melamar atau meminang merupakan pernyataan permintaan untuk menikah dari
seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seorang yang sangat
dipercayai. Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa khitbah atau tunangan adalah ;
“mengungkapkan keinginan untuk menikah dengan seseorang perempuan tertentu dan
memberitahukan keinginan tersebut kepada perempuan tersebut dan walinya”.
Pemberitahuan
kepada perempuan dan walinya bisa dilakukan secara langsung oleh lelaki yang
hendak melamarnya, atau bisa juga dengan cara memakai perantara dari
keluarganya. Jika perempuan yang hendak di lamar atau keluarganya setuju, maka
tunangan/lamaran dinyatakan syah. Konsekwensi setelah melaksanakan khitbah atau
melamar bagi kedua insan ini, masih berstatus sebagai orang lain, mereka boleh
saja berinteraksi satu sama lainnya sesuai dengan batas-batas yang sudah jelas
menurut yang diperbolehkan oleh syariat, yaitu melihat wajah dan telapak
tangan. Karenanya merupakan kesalahan besar dan kemungkaran yang jelek serta
kebodohan akan hukum-hukum agama kalau mereka yang sudah terikat dalam pinangan
melakukan hal-hal yang melanggar hukum agama. Orang tua atau wali dari
masing-masing pihak harus memperhatikan tata pergaulan mereka. Karena khitbah
atau melamar itu sendiri hanya sekedar janji untuk menikah, dan bukan merupakan
nikah itu sendiri. Sesungguhnya pernikahan itu tidak akan terjadi melainkan
dengan diselenggarakannya akad nikah yang sudah makruf.
Selama
sebelum dilaksanakannya akad nikah, maka harus bersih dari persentuhan yang
haram dan berdua-duaan, bersepi-sepi (kencan) yang haram melakukan hal-hal yang
tidak dihalakan menurut agama. Berbeda dengan budaya Barat, bahwa bertunangan
menurut Barat “terutama menurut ajaran yang disebarkan oleh filsuf Inggeris
Bertrand Russel, atau filsuf Eksistensialis perancis Jean Paul Satre, ialah
pergaulan bebas dengan janji kelak akan
menikah. Bebas luar dalam, dan menikah bukan masalah”. Selama
perkawinan menjadi tujuannya, maka antara yang mencintai dan yang dicintai
harus memiliki kadar ketenangan, maka sebaiknya perkwinan segera dilaksanakan
untuk menjauhi beberapa larangan yang sering terjadi karena percintaan yang
panjang. Seperti kemungkinan mengendornya perasaan salah seorang dari mereka,
atau terpaksa meninggalkan perkawinan karena tekanan keadaan.
Di abad modern
ini, masih ada sebagian orang yang mempertanyakan tentang bolehkah seorang
perempuan melamar seorang laki-laki?, karena
memang hal ini merupakan peristiwa langka. Atau karena mungkin sudah menjadi fithrahnya bagi
perempuan itu cenderung merasa malu. Disamping
kebiasaan masyarakat kita bahwa perempuan itu bersifat pasif atau menunggu
untuk di lamar. Sehingga ketika ada seorang perempuan yang ingin melamar pria,
banyak orang yang memandang sebagai hal yang aneh, berani atau juga unik. Hal
ini menjadikan perempuan terkendala untuk berani melamar pria idaman. Padahal
menurut beberapa keterangan hadits menunjukkan tidak ada larangan wanita
melamar pria.
Seorang bapak
haruslah selektif dalam memilihkan pasangan hidup untuk anak gadisnya, begitu
pula calon suami atau seorang pemuda, hendaknya juga selektif dalam memilih
calon isteri yang sesuai, yaitu sesuai dengan ajaran agama. Dalam sebuah hadits
dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda.
تُنْكَحُ
الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَا لِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَا لِهَا وَلِدِيْنِهَا, فَظْفَرْ
بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. روا ه البخاري
Perempuan
itu dinikahi karena empat hal; yaitu karena hartanya, keturunannya,
kecantikannya dan agamanya. , karena kalau tidak, niscaya kamu akan celaka.
H.R. Bukhari.
Dengan demikian
keluarga muslim sangat mendambakan akan kelanggengan pernikahan dengan
berpegang teguh dengan pilihan yang baik dan asas yang kuat sehingga mampu
merealisasikan kejernihan, ketentraman, kebahagiaan dan kasih sayang sehingga
tercipta keluarga sakinah, mawaddah warahmah. Semua itu dapat diraih dengan
adanya akhlak dan agama. Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa;
Agama
dapat semakin menguat seiring dengan bertambahnya umur, sedangkan akhlak akan
semakin lurus seiring dengan berjalannya waktu dan pengalaman hidup. Adapun
tujuan lainnya yang sering mempengaruhi manusia seperti harta, kecantikan dan
jabatan, semuanya itu bersifat temporal. Hal itu tidak dapat menciptakan kelanggengan
hubungan, bahkan umumnya malah menjadi pemicu timbulnya sifat saling berbangga
diri dan merasa tinggi serta ingin dipandang oleh orang lain.
Nashir al-Umar
mengatakan “hari ini banyak orang ‘sembrono’ dalam memilih pasangan, sehingga
menjadikan pangkat dan jabatan sebagai pertimbangan utama dalam memilih calon
menantu. Semestinya faktor agamalah yang menjadi pertimbangan terdepan dalam
memilih pasangan hidup.
Memang
pada umumnya yang menarik minat dan perhatian para lelaki untuk menikah adalah
ke-empat hal tersebut, dan perempuan yang memiliki agama oleh mereka
diposisikan pada bagian paling akhir. Oleh sebab itu, Nabi SAW memerintahkan
mereka agar jikalau mereka telah menemukan perempuan yang memiliki agama, maka
hendaklah mereka memilih perempuan tersebut. Misalnya ada orang yang mengomentari
seorang pemuda yang hendak menikah dengan mengatakan “calon isterimu itu
agamanya jelek”, ia akan menjawab, “insya Allah ia akan menjadi baik setelah
saya nikahi”. Tetapi, ketika ada yang berkata kepada salah seorang dari mereka,
“calon isterimu orang miskin”, pemuda itu tidak mau mengatakan, “Tidak. insya
Allah ia akan menjadi kaya setelah saya nikahi”
Dasar
pihak lelaki yang melamar wanita adalah firman Allah dalam al-Qur’an surat
al-Baqarah 2 [235].
وَلَا
جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا عَرَّضۡتُم بِهِۦ مِنۡ خِطۡبَةِ ٱلنِّسَآءِ …..
235. Dan tidak
ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran…..
Perempuan
yang boleh dipinang dengan cara sindiran adalah perempuan yang dalam masa iddah
karena ditinggal mati oleh suaminya, atau karena thalak bain, sedangkan
perempuan yang dalam masa iddah thalak raj’i tidak boleh dipinang walaupun
dengan cara sindiran.
Setelah kita
mencermati kebanyakan penulis, penceramah, mubaligh, lebih memfokuskan pembahasannya
tentang bagaimana memilih isteri yang baik, tapi sangat jarang kita mendengar
orang mengatakan “bagaimana memilih suami yang baik”.
Sebenarnya, memilih suami tak kalah pentingnya dengan memilih
isteri. Bisa jadi problem keluarga terjadi akibat dari isteri salah memilih
suami. Karena itu peran orang tua dominan dan sangat menentukan terutama yang
berhubungan dengan kebahagiaan, keutuhan keluarga serta pendidikan anak, hal
ini sangat erat kaitannya dengan latar belakang memilih pasangan.
Tidak
sedikit wanita muslimah masih merasa malu untuk menyatakan cintanya dan
mengungkapkan keinginannya untuk menikah dengan seorang pria pujaan hatinya. Tidak
sedikit mereka melihat dari kejauhan betapa pria pujaan hatinya menikah dengan
perempuan lain. Mungkin mereka akan berkata untuk menghibur hati yang berduka
biarkan sajalah memang dia bukanlah jodohku. Padahal dalam ajaran Islam tidak
ada larangan seorang perempuan untuk
menemukan jodoh yang sesuai dengan pilihan hatinya. Bagi wanita muslimah yang
sudah siap untuk menikah hendaknya membekali
diri dengan ilmu agama, ilmu urusan kerumahtanggaan, setelah berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk mendapat calon suami yang baik. Hemat penulis perlu ada
beberapa langkah yang perlu dilaksanakan agar perempuan bisa melamar pria, yaitu;
1. 1. Istikharah.
Salah satu cara yang dilakukan adalah, apabila Allah melapangkan
dada laki-laki dan perempuan untuk melakukan peminangan, maka sebaiknya
melakukan shalat istikharah terlebih dahulu sebelum melakukan peminangan itu,
yaitu untuk meminta taufik (pertolongan) dan kemudahan kepada Allah SWT.
Dari
Jabir bin Abdullah berkata: Rasulullah SAW mengajari kami istikharah (shalat
untuk meminta pilihan) dalam semua perkara sebagaimana beliau mengajari kami
surat al-Qur’an, sabdanya ‘Apabila salah seorang dari kamu berkepentingan
terhadap sesuatu urusan (menghadapi suatu urusan penting), maka hendaklah ia
melakukan shalat dua rakaat yang bukan shalat fardhu, kemudian dia berdo’a’. Ya
Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan pada-Mu dengan ilmu-Mu, dan aku memohon
kemampuan kepada-Mu dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon dari sebagian
karunia-Mu yang agung. Karena sesungguhnya Engkaulah yang berkuasa, sedangkan
aku tidak berkuasa, Engkaulah yang Maha Mengetahui, sedangkan aku tidak
mengetahui, dan Engkaulah yang Maha Mengetahui perkara-perkara ghaib. Ya Allah,
jika Engkau mengetahui bahwa hal ini baik bagiku dalam agamaku dan kehidupanku
serta akibat urusanku - atau dia mengucapkan urusanku sekarang dan yang akan
datang – maka tentukanlah ia untukku dan mudahkanlah ia bagiku, kemudian
berilah aku berkah padanya. Dan jika Engkau mengetahui bahwa hal ini jelek
bagiku dalam agamaku dan kehidupanku akibat urusanku – atau ia mengatakan –
urusanku sekarang dan yang akan datang – maka palingkanlah ia dariku dan
palingkanlah aku darinya, dan tentukanlah untukku kebaikan dimana saja ia
berada, kemudian jadikanlah aku ridha kepadanya. “Beliau bersabda, “Dan ia
sebutkan kebutuhannya” (H.R. Bukhari).
2 2.
Perempuan
Berhak atas Dirinya.
Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa seorang permpuan dapat
menentukan siapa yang akan menjadi jodohnya, perempuan berhak atas didirnya.
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:قَالَ
رسولُ اللهِ ص م الثَّيْبُ اَحَقُّ بِنَفْسِهاَ مِنْ وَلِيِّهَا
وَالْبِكْرُ
تُسْتَأْذَنُ وَإذْنُهَا صِمَاتُهَا .وراه الجماعة إلا البخاري
Dari Abdullah bin Abbas r.a. berkata : Bersabda
Rasulullah SAW. Perempuan yang telah janda lebih berhak atas dirinya dari pada
walinya, dan perempuan yang masih perawan diminta idzin dari dirinya dan
idzinnya ialah diamnya. H.R. al-Jama’ah kecuali al-Bukhari.
Hadits
tersebut menjelaskan bahwa perempuan berhak atas dirinya, bahkan seorang yang
sudah berstatus janda dia lebih berhak atas dirinya dari pada walinya sendiri. Tentu
saja sebagai perempuan Islam, maka mereka akan memilih suami yang sesuai, yang
kufu dan sama-sama berlindung dibawah bendera Islam. Bila syarat-syarat
tersebut tidak pula dipenuhinya – misalnya, dipilihnya jodoh seorang pezina,
padahal dia keluarga baik-baik, atau dipilihnya orang kafir padahal dia
keluarga Islam – wali dan yang lainnya dapat menghalangi. Hal itu bukanlah
untuk merampas kemerdekaannya melainkan membatasi kemerdekaan yang
disalahgunakan. Didalam hadits di atas disebutkan bahwa anak gadis perawan.
Jika ia diam ketika ditanyai, adalah tanda bahwa ia telah memberi izin. Nabi
mengatakan demikian karena anak perawan di zaman itu masih saja tahu malu. Aib
baginya mengatakan saya “suka”.
3. 3.
Wanita
Menawarkan Dirinya pada Laki-laki yang Shaleh.
Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa ada
seorang wanita yang melamarkan dirinya kepada Rasulullah.
Tsabit al-Buni berkata, “Aku berada di sisi
Anas, dan di sebelahnya ada anak perempuannya Anas berkata, ‘Seorang wanita
datang kepada Rasulullah, apakah engkau berhasrat kepadaku?’ (dan di dalam satu
riwayat) wanita itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku datang hendak memberikan
diriku kepadamu’). Maka putri Anas berkata, ‘Betapa sedikitnya perasaan
malunya, idih, idih,’ Anas berkata, ‘Dia lebih baik dari pada engkau, dia
menginginkan Nabi SAW, lalu menawarkan dirinya kepada beliau”. H.R. Bukhari.
Dalam Kitab an-Nikah Bab Ardhul Mar’ah Nafsaha ‘alar Rajulish shaleh, juz 11,
hlm. 79. Sebagaimana dikutip oleh Abdul Halim Abu Syuqqah dalam Tahrirul mar’ah
fi Ashrir Risaalah jilid 5, hlm. 50.
Masih
dalam Abdul Halim Abu Syuqqah mengatakan
sebuah cerita bagus dikemukakan oleh salah seorang teman dari al-Jazair,
bahwa dia ketika berkunjung ke Mauritania, ada seorang wanita yang datang
kepadanya menawarkan diri untuk kawin dengannya. Ketika dia merasa terkejut dan
heran, maka wanita itu bertanya, “Apakah aku mengajak Anda untuk berbuat yang
haram? Aku hanya mengajak Anda untuk kawin sesuai dengan sunnah Allah dan
Rasul-Nya…” Maka berangkatlah kami ke Qadhi (pengadilan), dan terjadilah
akad nikah dengan dihadiri dua orang saksi.
4. 4.
Meminta kepada
Ayah/Wali.
Bukanlah disebut ketinggalan zaman
seandainya seorang gadis meminta kepada orang tuanya untuk mencarikan jodoh
buat anak-anaknya, terlebih lagi bagi anak-anak perempuan.
Wali dalam hal ini; ayah, saudara laki-laki, paman, anak
laki-laki dan semua laki-laki yang termasuk dalam daftar wali memiliki
kewajiban untuk mencarikan calon dan menikahkan perempuan-perempuan dalam
perwaliannya, bila mereka alpa dalam hal ini, wajib bagi para perempuan untuk
mengingatkannya. Ayah/wali biasanya lebih mampu menilai secara obyektif dalam
rangka mencarikan calon suami terbaik bagi anak-anaknya. Perasaan perempuan
yang dominan sering menjadi penumpul akal dan menyebabkannya mudah dipermainkan
laki-laki yang memiliki niat yang melenceng. Namun, ayah/wali tidak boleh
menghalangi/menolak menikahkan anak perempuannya, ketika sang anak datang
membawa calonnya, tanpa alasan yang dibenarkan syar’i.
Seorang perempuan bukan hanya sekedar pasif dan menunggu dan
menunggu saja, akan tetapi ia juga tidak disalahkan berperan aktif untuk
menjemput jodohnya, hal itu bukanlah merupakan perbuatan yang hina. Kalau sudah
menemukan kecookan, maka tidak ada halangan baginya untuk mengajak laki-laki tersebut
menikah secara syar’i dengannya.
5. 5.
Penawaran
dari Orang Tua
Dalam kitab Tahriirul Mar’ah fi
Ashrir Risaalah Abdul Halim Abu Syuqqah menjelaskan tentang orang tua si wanita
atau kerabatnya menawarkan kepada orang-orang yang mereka ridhai akhlak dan
agamanya. Beliau mengutip hadits tentang Penawaran seseorang akan putrinya atau
saudara perempuannya kepada ahli kebaikan.
Dari
Abdullah bin Umar r.a. bahwa Umar bin Khaththab, r.a. ketika Hafshah binti Umar
menjanda dari Khunais bin Khudzafah as-Sahmi - salah seorang sahabat Rasulullah
SAW, yang wafat di Madinah – Umar bin Khaththab berkata, “Aku datang kepada
Usman bin Affan, lalu aku tawarkan kepadanya Hafshah. Maka Usman berkata, Aku akan
melihat urusanku, lalu aku berdiam selama beberapa malam, kemudian Usman datang
kepadaku seraya berkata, tampak olehku bahwa pada saat-saat ini aku belum
berhasrat untuk kawin. Umar berkata, lalu aku temui Abubakar ash-Shiddiq,
lantas kukatakan, jika engkau mau, aku ingin mengawinkan engkau dengan Hafshah
binti Umar. Maka Abubakar diam saja dan tidak menjawab sedikitpun, dan aku
merebutnya setelah Usman. Maka aku berdiam selama beberapa malam, kemudian
Rasulullah SAW melamarnya, lalu aku nikahkan ia dengan beliau. Setelah itu
Abubakar menemuiku seraya berkata, Engkau telah menemuiku untuk melamar Hafshah
kepadaku tetapi aku tidak menjawab kepadamu sedikitpun. Umar berkata, Benar, Abubakar berkata, tidak ada yang
menghalangiku untuk menjawab tawaranmu itu, melainkan karena aku telah
mengetahui bahwa Rasulullah SAW pernah menyebut-nyebutnya (Hafshah), maka aku
tidak ingn membukakan rahasia Rasulullah SAW dan seandainya Rasulullah SAW,
meninggalkannya, niscaya aku menerimanya. (HR.al-Bukhari).
Pada zaman global
seperti sekarang ini kita mendapati pemilihan pasangan hidup banyak dipengaruhi
oleh faktor ekonomi (kekayaan) yang dimiliki oleh calon suami atau isteri.
Terutama di kalangan wanita, mereka begitu memperhatikan aspek kekayaan,
pendidikan, jabatan, keturunan atau ketampanan calon suami, hal itu adalah
wajar. Tapi sayang, mereka kurang memperhatikan kualitas agama calon suaminya.
Ternyata di kalangan pemudapun sama saja seperti yang terjadi pada wanita,
lebih banyak memperhatikan aspek ekonomi (kekayaan), kecantikan dan keturunan
ketimbang aspek kualitas agamanya.
Pernikahan yang
tidak berdasarkan pada agama, akan berdampak pada keretakan rumah tangga yang
selanjutnya memicu pada percereian.
Berdasarkan
data yang dikeluarkan oleh Badilag (Badan Peradilan Agama) Mahkamah Agung RI.
Alasan orang untuk bercerei yaitu, “tak bisa akur sebesar 48,1%, tinggalkan
pasangan 22,2%, ekonomi 15,3 %, Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 4,8 %,
pasangan pemabuk 2,6%, pasangan penjudi 1,9 %, poligami 1,1 %, cacat badan 1,1
%, dihukum penjara 0,6 %, zina 0,4 %, kawin paksa 0,4 %, murtad 0,3 % dan
lain-lain 0,4 %.” .
Mengarungi
kehidupan, ibarat mengarungi samudera lautan. Terkadang lautannya tenang,
terkadang tanpa diduga datang ombak besar. Bagi orang yang paham situasi dan
kondisi berumah tangga, tentu sudah tahu mengatasi berbagai gelombang kehidupan
tersebut. Karena itu dalam mengatur kehidupan rumah tangga penuh dengan
berbagai keunikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Ahmad Mubarok bahwa;
Manusia sebagai
individu adalah unik. Rumah tangga adalah mempersatukan dua keunikan, keunikan
suami dan keunikan isteri, jika keunikan suami dan keunikan isteri menjadi
sinergi, maka rumah tangga itu mampu mempersepsi stimulus secara proposional.
Tetapi jika keunikan itu bertolak belakang, maka segala yang pernik-pernik
dipresepsi menjadi prinsipil, dan meresponnya juga dengan sikap prinsipil
berpijak pada keunikan masing-masing. Jika keadaan sudah demikian maka sakinah
akan menjauh dari rumah tangga, dan sebagai gantinya adalah kesalahfahaman yang
berkesinambungan. Rumah tangga tidak lagi menjadi “surga” (baiti jannati, my
house is my castil, tetapi menjadi “neraka”.
Wallahu a’lam.
Karawang, 11
Oktober 2016
Daftar Pustaka
Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahriirul Mar’ah fi Ashrir Risaalah,
Penerj. As’ad Yasin, Kebebasan Wanita, Jakarta, Gema Insani Press, 2015.
Ahmad
Mubarok, Psikologi Keluarga, Malang, Madani, 2016
Departemen
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 2006.
Erma
Pawitasari, Muslimah Sukses tanpa Stres, Jakarta, Gema Insani Press,
2015.
Hamka,
Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan, Jakarta, Gema Insani Press, 2015
_______
Ghirah Cemburu Karena Allah, Jakarta, Gema Insani Press, 2015.
Nashir al-Umar, Silsilah al Buyut al-Muthmainah, Alih
Bahasa, Ahmad Zubaidi, Keluarga Modern tapi Sakinah, Solo, Aqwam, 2013.
Wahbah
az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, Jakarta, GIP, 2011.
مشكور منصور