• This is default featured slide 1 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 2 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 3 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

PENDIDIKAN KELUARGA ISLAMI MEMILIH PASANGAN HIDUP



PENDIDIKAN KELUARGA ISLAMI
MEMILIH PASANGAN HIDUP

MEMILIH CALON SUAMI YANG BAIK
Oleh: Masykur H Mansyur
Fakultas Agama Islam
Unsika Karawang

            Diantara kita ada yang mengungkapkan perasaan cintanya kepada seseorang secara terang-terangan. Seperti misalnya seorang pemuda mengatakan “saya mencintaimu seratus prosen” atau “saya ingin melamarmu”, atau “saya ingin menikahimu”. Ada kalanya juga yang melakukannya dengan cara malu-malu atau secara implisit, dengan sindiran atau dengan indikasi. Seperti misalnya, “kamu sangat layak dan cocok untuk dinikahi”, atau dengan mengatakan “seseorang yang mendapatkanmu pastilah dia yang paling beruntung”, atau berkata kepada perempuan yang kita taksir “saya sedang mencari perempuan shalehah sepertimu”.  Ungkapan-ungkapan seperti itu biasanya seorang perempuan merasakan semakin tersanjung dan melayang-layang pikirannya.
Di masyarakat kita, sudah menjadi sesuatu yang lazim bahwa pihak laki-laki-lah yang melamar pihak wanita, dan hanya sedikit pihak perempuan yang melamar pihak laki-laki. Dalam ajaran Islam memang pihak lelaki-lah yang melamar, bukan pihak perempuan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan pihak perempuan bisa juga melamar pihak laki-laki.
Khitbah atau melamar atau meminang merupakan pernyataan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya  dengan perantaraan seorang yang sangat dipercayai. Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa khitbah atau tunangan adalah ; “mengungkapkan keinginan untuk menikah dengan seseorang perempuan tertentu dan memberitahukan keinginan tersebut kepada perempuan tersebut dan walinya”.[1]
Pemberitahuan kepada perempuan dan walinya bisa dilakukan secara langsung oleh lelaki yang hendak melamarnya, atau bisa juga dengan cara memakai perantara dari keluarganya. Jika perempuan yang hendak di lamar atau keluarganya setuju, maka tunangan/lamaran dinyatakan syah. Konsekwensi setelah melaksanakan khitbah atau melamar bagi kedua insan ini, masih berstatus sebagai orang lain, mereka boleh saja berinteraksi satu sama lainnya sesuai dengan batas-batas yang sudah jelas menurut yang diperbolehkan oleh syariat, yaitu melihat wajah dan telapak tangan. Karenanya merupakan kesalahan besar dan kemungkaran yang jelek serta kebodohan akan hukum-hukum agama kalau mereka yang sudah terikat dalam pinangan melakukan hal-hal yang melanggar hukum agama. Orang tua atau wali dari masing-masing pihak harus memperhatikan tata pergaulan mereka. Karena khitbah atau melamar itu sendiri hanya sekedar janji untuk menikah, dan bukan merupakan nikah itu sendiri. Sesungguhnya pernikahan itu tidak akan terjadi melainkan dengan diselenggarakannya akad nikah yang sudah makruf.
Selama sebelum dilaksanakannya akad nikah, maka harus bersih dari persentuhan yang haram dan berdua-duaan, bersepi-sepi (kencan) yang haram melakukan hal-hal yang tidak dihalakan menurut agama. Berbeda dengan budaya Barat, bahwa bertunangan menurut Barat “terutama menurut ajaran yang disebarkan oleh filsuf Inggeris Bertrand Russel, atau filsuf Eksistensialis perancis Jean Paul Satre, ialah pergaulan  bebas dengan janji kelak akan menikah. Bebas luar dalam, dan menikah bukan masalah[2]. Selama perkawinan menjadi tujuannya, maka antara yang mencintai dan yang dicintai harus memiliki kadar ketenangan, maka sebaiknya perkwinan segera dilaksanakan untuk menjauhi beberapa larangan yang sering terjadi karena percintaan yang panjang. Seperti kemungkinan mengendornya perasaan salah seorang dari mereka, atau terpaksa meninggalkan perkawinan karena tekanan keadaan.
Di abad modern ini, masih ada sebagian orang yang mempertanyakan tentang bolehkah seorang perempuan melamar seorang laki-laki?, karena memang hal ini merupakan peristiwa langka. Atau karena  mungkin sudah menjadi fithrahnya bagi perempuan itu cenderung merasa malu. Disamping kebiasaan masyarakat kita bahwa perempuan itu bersifat pasif atau menunggu untuk di lamar. Sehingga ketika ada seorang perempuan yang ingin melamar pria, banyak orang yang memandang sebagai hal yang aneh, berani atau juga unik. Hal ini menjadikan perempuan terkendala untuk berani melamar pria idaman. Padahal menurut beberapa keterangan hadits menunjukkan tidak ada larangan wanita melamar pria.
Seorang bapak haruslah selektif dalam memilihkan pasangan hidup untuk anak gadisnya, begitu pula calon suami atau seorang pemuda, hendaknya juga selektif dalam memilih calon isteri yang sesuai, yaitu sesuai dengan ajaran agama. Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda.
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَا لِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَا لِهَا وَلِدِيْنِهَا, فَظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. روا ه البخاري
Perempuan itu dinikahi karena empat hal; yaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. , karena kalau tidak, niscaya kamu akan celaka. H.R. Bukhari.
Dengan demikian keluarga muslim sangat mendambakan akan kelanggengan pernikahan dengan berpegang teguh dengan pilihan yang baik dan asas yang kuat sehingga mampu merealisasikan kejernihan, ketentraman, kebahagiaan dan kasih sayang sehingga tercipta keluarga sakinah, mawaddah warahmah. Semua itu dapat diraih dengan adanya akhlak dan agama. Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa;
Agama dapat semakin menguat seiring dengan bertambahnya umur, sedangkan akhlak akan semakin lurus seiring dengan berjalannya waktu dan pengalaman hidup. Adapun tujuan lainnya yang sering mempengaruhi manusia seperti harta, kecantikan dan jabatan, semuanya itu bersifat temporal. Hal itu tidak dapat menciptakan kelanggengan hubungan, bahkan umumnya malah menjadi pemicu timbulnya sifat saling berbangga diri dan merasa tinggi serta ingin dipandang oleh orang lain[3].

Nashir al-Umar mengatakan “hari ini banyak orang ‘sembrono’ dalam memilih pasangan, sehingga menjadikan pangkat dan jabatan sebagai pertimbangan utama dalam memilih calon menantu. Semestinya faktor agamalah yang menjadi pertimbangan terdepan dalam memilih pasangan hidup[4].
            Memang pada umumnya yang menarik minat dan perhatian para lelaki untuk menikah adalah ke-empat hal tersebut, dan perempuan yang memiliki agama oleh mereka diposisikan pada bagian paling akhir. Oleh sebab itu, Nabi SAW memerintahkan mereka agar jikalau mereka telah menemukan perempuan yang memiliki agama, maka hendaklah mereka memilih perempuan tersebut. Misalnya ada orang yang mengomentari seorang pemuda yang hendak menikah dengan mengatakan “calon isterimu itu agamanya jelek”, ia akan menjawab, “insya Allah ia akan menjadi baik setelah saya nikahi”. Tetapi, ketika ada yang berkata kepada salah seorang dari mereka, “calon isterimu orang miskin”, pemuda itu tidak mau mengatakan, “Tidak. insya Allah ia akan menjadi kaya setelah saya nikahi”[5]
Dasar pihak lelaki yang melamar wanita adalah firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah 2 [235].
وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا عَرَّضۡتُم بِهِۦ مِنۡ خِطۡبَةِ ٱلنِّسَآءِ …..
235. Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan  sindiran….[6].
Perempuan yang boleh dipinang dengan cara sindiran adalah perempuan yang dalam masa iddah karena ditinggal mati oleh suaminya, atau karena thalak bain, sedangkan perempuan yang dalam masa iddah thalak raj’i tidak boleh dipinang walaupun dengan cara sindiran.
      Setelah kita mencermati kebanyakan penulis, penceramah, mubaligh, lebih memfokuskan pembahasannya tentang bagaimana memilih isteri yang baik, tapi sangat jarang kita mendengar orang mengatakan “bagaimana memilih suami yang baik”.
Sebenarnya, memilih suami tak kalah pentingnya dengan memilih isteri. Bisa jadi problem keluarga terjadi akibat dari isteri salah memilih suami. Karena itu peran orang tua dominan dan sangat menentukan terutama yang berhubungan dengan kebahagiaan, keutuhan keluarga serta pendidikan anak, hal ini sangat erat kaitannya dengan latar belakang memilih pasangan.
            Tidak sedikit wanita muslimah masih merasa malu untuk menyatakan cintanya dan mengungkapkan keinginannya untuk menikah dengan seorang pria pujaan hatinya. Tidak sedikit mereka melihat dari kejauhan betapa pria pujaan hatinya menikah dengan perempuan lain. Mungkin mereka akan berkata untuk menghibur hati yang berduka biarkan sajalah memang dia bukanlah jodohku. Padahal dalam ajaran Islam tidak ada larangan  seorang perempuan untuk menemukan jodoh yang sesuai dengan pilihan hatinya. Bagi wanita muslimah yang sudah siap untuk menikah hendaknya  membekali diri dengan ilmu agama, ilmu urusan kerumahtanggaan, setelah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapat calon suami yang baik. Hemat penulis perlu ada beberapa langkah yang perlu dilaksanakan agar perempuan bisa melamar pria, yaitu;
1.     1. Istikharah.
Salah satu cara yang dilakukan adalah, apabila Allah melapangkan dada laki-laki dan perempuan untuk melakukan peminangan, maka sebaiknya melakukan shalat istikharah terlebih dahulu sebelum melakukan peminangan itu, yaitu untuk meminta taufik (pertolongan) dan kemudahan kepada Allah SWT.
Dari Jabir bin Abdullah berkata: Rasulullah SAW mengajari kami istikharah (shalat untuk meminta pilihan) dalam semua perkara sebagaimana beliau mengajari kami surat al-Qur’an, sabdanya ‘Apabila salah seorang dari kamu berkepentingan terhadap sesuatu urusan (menghadapi suatu urusan penting), maka hendaklah ia melakukan shalat dua rakaat yang bukan shalat fardhu, kemudian dia berdo’a’. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan pada-Mu dengan ilmu-Mu, dan aku memohon kemampuan kepada-Mu dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon dari sebagian karunia-Mu yang agung. Karena sesungguhnya Engkaulah yang berkuasa, sedangkan aku tidak berkuasa, Engkaulah yang Maha Mengetahui, sedangkan aku tidak mengetahui, dan Engkaulah yang Maha Mengetahui perkara-perkara ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa hal ini baik bagiku dalam agamaku dan kehidupanku serta akibat urusanku - atau dia mengucapkan urusanku sekarang dan yang akan datang – maka tentukanlah ia untukku dan mudahkanlah ia bagiku, kemudian berilah aku berkah padanya. Dan jika Engkau mengetahui bahwa hal ini jelek bagiku dalam agamaku dan kehidupanku akibat urusanku – atau ia mengatakan – urusanku sekarang dan yang akan datang – maka palingkanlah ia dariku dan palingkanlah aku darinya, dan tentukanlah untukku kebaikan dimana saja ia berada, kemudian jadikanlah aku ridha kepadanya. “Beliau bersabda, “Dan ia sebutkan kebutuhannya” (H.R. Bukhari).
2   2.   Perempuan Berhak atas Dirinya.
Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa seorang permpuan dapat menentukan siapa yang akan menjadi jodohnya, perempuan berhak atas didirnya.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:قَالَ رسولُ اللهِ ص م الثَّيْبُ اَحَقُّ بِنَفْسِهاَ مِنْ وَلِيِّهَا
وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ وَإذْنُهَا صِمَاتُهَا .وراه الجماعة إلا البخاري
Dari Abdullah bin Abbas r.a. berkata : Bersabda Rasulullah SAW. Perempuan yang telah janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan perempuan yang masih perawan diminta idzin dari dirinya dan idzinnya ialah diamnya. H.R. al-Jama’ah kecuali al-Bukhari.
                        Hadits tersebut menjelaskan bahwa perempuan berhak atas dirinya, bahkan seorang yang sudah berstatus janda dia lebih berhak atas dirinya dari pada walinya sendiri. Tentu saja sebagai perempuan Islam, maka mereka akan memilih suami yang sesuai, yang kufu dan sama-sama berlindung dibawah bendera Islam. Bila syarat-syarat tersebut tidak pula dipenuhinya – misalnya, dipilihnya jodoh seorang pezina, padahal dia keluarga baik-baik, atau dipilihnya orang kafir padahal dia keluarga Islam – wali dan yang lainnya dapat menghalangi. Hal itu bukanlah untuk merampas kemerdekaannya melainkan membatasi kemerdekaan yang disalahgunakan. Didalam hadits di atas disebutkan bahwa anak gadis perawan. Jika ia diam ketika ditanyai, adalah tanda bahwa ia telah memberi izin. Nabi mengatakan demikian karena anak perawan di zaman itu masih saja tahu malu. Aib baginya mengatakan saya “suka”.[7]
3.     3.  Wanita Menawarkan Dirinya pada Laki-laki yang Shaleh.
Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa ada seorang wanita yang melamarkan dirinya kepada Rasulullah.
Tsabit al-Buni berkata, “Aku berada di sisi Anas, dan di sebelahnya ada anak perempuannya Anas berkata, ‘Seorang wanita datang kepada Rasulullah, apakah engkau berhasrat kepadaku?’ (dan di dalam satu riwayat) wanita itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku datang hendak memberikan diriku kepadamu’). Maka putri Anas berkata, ‘Betapa sedikitnya perasaan malunya, idih, idih,’ Anas berkata, ‘Dia lebih baik dari pada engkau, dia menginginkan Nabi SAW, lalu menawarkan dirinya kepada beliau”. H.R. Bukhari. Dalam Kitab an-Nikah Bab Ardhul Mar’ah Nafsaha ‘alar Rajulish shaleh, juz 11, hlm. 79. Sebagaimana dikutip oleh Abdul Halim Abu Syuqqah dalam Tahrirul mar’ah fi Ashrir Risaalah jilid 5, hlm. 50.
Masih dalam Abdul Halim Abu Syuqqah mengatakan  sebuah cerita bagus dikemukakan oleh salah seorang teman dari al-Jazair, bahwa dia ketika berkunjung ke Mauritania, ada seorang wanita yang datang kepadanya menawarkan diri untuk kawin dengannya. Ketika dia merasa terkejut dan heran, maka wanita itu bertanya, “Apakah aku mengajak Anda untuk berbuat yang haram? Aku hanya mengajak Anda untuk kawin sesuai dengan sunnah Allah dan Rasul-Nya…” Maka berangkatlah kami ke Qadhi (pengadilan), dan terjadilah akad nikah dengan dihadiri dua orang saksi[8].
4.    4.   Meminta kepada Ayah/Wali.
Bukanlah disebut ketinggalan zaman seandainya seorang gadis meminta kepada orang tuanya  untuk   mencarikan jodoh buat anak-anaknya, terlebih lagi bagi anak-anak perempuan.
Wali dalam hal ini; ayah, saudara laki-laki, paman, anak laki-laki dan semua laki-laki yang termasuk dalam daftar wali memiliki kewajiban untuk mencarikan calon dan menikahkan perempuan-perempuan dalam perwaliannya, bila mereka alpa dalam hal ini, wajib bagi para perempuan untuk mengingatkannya. Ayah/wali biasanya lebih mampu menilai secara obyektif dalam rangka mencarikan calon suami terbaik bagi anak-anaknya. Perasaan perempuan yang dominan sering menjadi penumpul akal dan menyebabkannya mudah dipermainkan laki-laki yang memiliki niat yang melenceng. Namun, ayah/wali tidak boleh menghalangi/menolak menikahkan anak perempuannya, ketika sang anak datang membawa calonnya, tanpa alasan yang dibenarkan syar’i[9].
Seorang perempuan bukan hanya sekedar pasif dan menunggu dan menunggu saja, akan tetapi ia juga tidak disalahkan berperan aktif untuk menjemput jodohnya, hal itu bukanlah merupakan perbuatan yang hina. Kalau sudah menemukan kecookan, maka tidak ada halangan baginya untuk mengajak laki-laki tersebut menikah secara syar’i dengannya.
5.   5.   Penawaran dari Orang Tua
Dalam kitab Tahriirul Mar’ah fi Ashrir Risaalah Abdul Halim Abu Syuqqah menjelaskan tentang orang tua si wanita atau kerabatnya menawarkan kepada orang-orang yang mereka ridhai akhlak dan agamanya. Beliau mengutip hadits tentang Penawaran seseorang akan putrinya atau saudara perempuannya kepada ahli kebaikan.[10]
Dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa Umar bin Khaththab, r.a. ketika Hafshah binti Umar menjanda dari Khunais bin Khudzafah as-Sahmi - salah seorang sahabat Rasulullah SAW, yang wafat di Madinah – Umar bin Khaththab berkata, “Aku datang kepada Usman bin Affan, lalu aku tawarkan kepadanya Hafshah. Maka Usman berkata, Aku akan melihat urusanku, lalu aku berdiam selama beberapa malam, kemudian Usman datang kepadaku seraya berkata, tampak olehku bahwa pada saat-saat ini aku belum berhasrat untuk kawin. Umar berkata, lalu aku temui Abubakar ash-Shiddiq, lantas kukatakan, jika engkau mau, aku ingin mengawinkan engkau dengan Hafshah binti Umar. Maka Abubakar diam saja dan tidak menjawab sedikitpun, dan aku merebutnya setelah Usman. Maka aku berdiam selama beberapa malam, kemudian Rasulullah SAW melamarnya, lalu aku nikahkan ia dengan beliau. Setelah itu Abubakar menemuiku seraya berkata, Engkau telah menemuiku untuk melamar Hafshah kepadaku tetapi aku tidak menjawab kepadamu sedikitpun. Umar berkata,  Benar, Abubakar berkata, tidak ada yang menghalangiku untuk menjawab tawaranmu itu, melainkan karena aku telah mengetahui bahwa Rasulullah SAW pernah menyebut-nyebutnya (Hafshah), maka aku tidak ingn membukakan rahasia Rasulullah SAW dan seandainya Rasulullah SAW, meninggalkannya, niscaya aku menerimanya. (HR.al-Bukhari).
Pada zaman global seperti sekarang ini kita mendapati pemilihan pasangan hidup banyak dipengaruhi oleh faktor ekonomi (kekayaan) yang dimiliki oleh calon suami atau isteri. Terutama di kalangan wanita, mereka begitu memperhatikan aspek kekayaan, pendidikan, jabatan, keturunan atau ketampanan calon suami, hal itu adalah wajar. Tapi sayang, mereka kurang memperhatikan kualitas agama calon suaminya. Ternyata di kalangan pemudapun sama saja seperti yang terjadi pada wanita, lebih banyak memperhatikan aspek ekonomi (kekayaan), kecantikan dan keturunan ketimbang aspek kualitas agamanya.
Pernikahan yang tidak berdasarkan pada agama, akan berdampak pada keretakan rumah tangga yang selanjutnya memicu pada percereian.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badilag (Badan Peradilan Agama) Mahkamah Agung RI. Alasan orang untuk bercerei yaitu, “tak bisa akur sebesar 48,1%, tinggalkan pasangan 22,2%, ekonomi 15,3 %, Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 4,8 %, pasangan pemabuk 2,6%, pasangan penjudi 1,9 %, poligami 1,1 %, cacat badan 1,1 %, dihukum penjara 0,6 %, zina 0,4 %, kawin paksa 0,4 %, murtad 0,3 % dan lain-lain 0,4 %.” [11].
Mengarungi kehidupan, ibarat mengarungi samudera lautan. Terkadang lautannya tenang, terkadang tanpa diduga datang ombak besar. Bagi orang yang paham situasi dan kondisi berumah tangga, tentu sudah tahu mengatasi berbagai gelombang kehidupan tersebut. Karena itu dalam mengatur kehidupan rumah tangga penuh dengan berbagai keunikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Ahmad Mubarok bahwa;
Manusia sebagai individu adalah unik. Rumah tangga adalah mempersatukan dua keunikan, keunikan suami dan keunikan isteri, jika keunikan suami dan keunikan isteri menjadi sinergi, maka rumah tangga itu mampu mempersepsi stimulus secara proposional. Tetapi jika keunikan itu bertolak belakang, maka segala yang pernik-pernik dipresepsi menjadi prinsipil, dan meresponnya juga dengan sikap prinsipil berpijak pada keunikan masing-masing. Jika keadaan sudah demikian maka sakinah akan menjauh dari rumah tangga, dan sebagai gantinya adalah kesalahfahaman yang berkesinambungan. Rumah tangga tidak lagi menjadi “surga” (baiti jannati, my house is my castil, tetapi menjadi “neraka”.[12]
Wallahu a’lam.
Karawang, 11 Oktober 2016



Daftar Pustaka
                                                                                                                                           
Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahriirul Mar’ah fi Ashrir Risaalah, Penerj. As’ad Yasin, Kebebasan Wanita, Jakarta, Gema Insani Press, 2015.

Ahmad Mubarok, Psikologi Keluarga, Malang, Madani, 2016

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 2006.

Dian Erika Nugraha dan Umar Mukhtar, Republika: Lonjakan Perceraian Ancam Kualitas Anak, Rabu 25 Oktober 2016,

Erma Pawitasari, Muslimah Sukses tanpa Stres, Jakarta, Gema Insani Press, 2015.

Hamka, Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan, Jakarta, Gema Insani Press, 2015

_______ Ghirah Cemburu Karena Allah, Jakarta, Gema Insani Press, 2015.

Nashir al-Umar, Silsilah al Buyut al-Muthmainah, Alih Bahasa, Ahmad Zubaidi, Keluarga Modern tapi Sakinah, Solo, Aqwam, 2013.

Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, Jakarta, GIP, 2011.

























مشكور منصور


[1] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, Jakarta, GIP, 2011, hlm. 20-21.
[2] Hamka, Ghirah Cemburu Karena Allah, Jakarta, Gema Insani Press, 2015, hlm. 111..
[3] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, Jakarta, GIP.  2011, hlm.. 23.
[4] Nashir al-Umar, Silsilah al Buyut al-Muthmainah, Alih Bahasa, Ahmad Zubaidi, Keluarga Modern tapi Sakinah, Solo, Aqwam, 2013, hlm. 28.
[5] Nashir al-Umar, Silsilah al-Buyut al-Muthmainah, Alih Bahasa, Ahmad Zubaidi, Keluarga Modern Tapi Sakinah, Solo, Aqwam, 2013, hlm. 25.
[6] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 2006, hlm. 48.
[7] Hamka, Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan, Jakarta, Gema Insani Press, 2015, hlm. 130-131
[8] Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahriirul Mar’ah fi Ashrir Risaalah, Penerj. As’ad Yasin, Kebebasan Wanita, Jakarta, Gema Insani Press, 2015, hlm. 51.
[9] Erma Pawitasari, Muslimah Sukses tanpa Stres, Jakarta, Gema Insani Press, 2015, hlm. 232.
[10] Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahriirul Mar’ah fi Ashrir Risaalah, Penerj. As’ad Yasin, Kebebasan Wanita, Jakarta, Gema Insani Press, 2015, hlm. 46.
[11] Dian Erika Nugraha dan Umar Mukhtar, Republika: Lonjakan Perceraian Ancam Kualitas Anak, Rabu 25 Oktober 2016, hlm. 1.
[12] Ahmad Mubarok, Psikologi Keluarga, Malang, Madani, 2016, hlm, 140.
Share:

PENDIDIKAN DALAM RUMAH TANGGA ISLAMI BERTEMU DENGAN MANTAN SUAMI




Oleh: Masykur H Mansyur
Fakultas. Agama Islam
 Unsika Karawang

Setiap ada acara pernikahan sudah menjadi kebiasaan untuk mendo’akan kedua mempelai dengan do’a yang sangat terkenal ditelinga kita, yaitu do’a semoga menjadi keluarga syakinah, mawadah wa rahmah. Maksudnya supaya menjadi keluarga yang sejahtera, tentram penuh cinta dan kasih sayang. Mawaddatan wa rahmatan adalah cinta dan kasih sayang, yaitu cinta, kasih sayang dan kerinduan seorang laki-laki kepada seorang perempuan, dan seorang perempuan kepada laki-laki. Sudah menjadi kewajaran bagi tiap laki-laki yang sehat dan perempuan yang sehat untuk mencari teman hidup yang disertai dengan keinginan menumpahkan rasa kasih sayang yang dilanjutkan dengan pernikahan yang suci.
Nikah sebagaimana yang umumnya kita pahami adalah suatu akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. Nikah, disamping untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, akan tetapi juga dapat dipandang sebagai suatu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Ikatan pernikahan adalah ikatan yang teguh dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami dan isteri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga besar. Sehingga mereka menjadi satu dalam berbagai urusan tolong menolong dalam kebaikan dan mencegah kejahatan. Selain itu dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.

            Nikah mempunyai faedah, yaitu untuk menjaga dan memelihara perempuan yang mempunyai sifat lemah lembut, sebab seorang perempuan, kalau sudah menikah maka nafkahnya (biaya hidupnya) menjadi tanggung jawab suaminya. Pernikahan juga berguna untuk memelihara anak cucu (keturunan) sebab kalau tidak dengan nikah, tentulah anak tidak ketahuan siapa yang akan mengurusnya, serta siapa yang bertanggung jawab atasnya. Nikah juga dipandang seabagai kemaslahatan umum, sebab kalau tidak ada pernikahan, tentu manusia akan memperturutkan sifat seperti yang ada pada binatang, dan dengan sifat itu akan timbul perselisihan, bencana dan permusuhan antara sesamanya.
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa “nikah itu merupakan sunah yang telah berlaku dan merupakan akhlak para Nabi. Nikah itu mempunyai lima faedah yaitu 1) mendapatkan anak, 2). mengendurkan syahwat, 3) menjadikan teraturnya rumah tangga, 4) memperbanyak keluarga, dan 5) mengendalikan nafsu[1].

Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita seabagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[2]
            Apabila pergaulan kedua suami isteri tidak dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka selanjutnya akan mengakibatkan berpisahnya antara kedua keluarga. Karena tidak adanya kesepakatan antara keduanya. Akibat dari perselisihan tersebut terus berkelanjutan yang akhirnya menimbulkan permusuhan, mananam bibit-bibit kebencian antara keduanya atau terhadap sanak famili dan kerabat mereka, sehingga tidak ada jalan lain , sedangkan usaha perdamaian sudah dilakukan tapi tetap tidak bisa disambung lagi, maka dengan keadilan Allah SWT, dibuka-Nya jalan keluar dari segala kesukaran itu, yaitu thalak (percereian).
Menurut hukum asalnya thalak itu hukumnya makruh, dan perkara halal yang dibenci oleh Allah ialah thalak. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إليَ اللّهِ الطَّلاَقُ رواه أبوداود وابن ماجَه.

Dari Ibnu Umar, ia berkata: bahwa Rasulullah SAW telah bersabda sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah thalak, H.R. Abu Dawud dan Ibnu Maajah.
            Syeikh Abdul Aziz Abdus-Sattar dalam M. Quraish Shihab, ada seorang yang datang kepada al-Hasan al-Bashri – seorang tabi’iy besar - untuk meminta pandangannya, dia berkata:  “Ada dua orang yang datang melamar putriku, siapa yang kuterima?, terimalah yang paling baik agamanya, karena jika ia senang kepada isterinya, pasti ia menghormati (memelihara) - nya; sedangkan bila ia membencinya, ia tidak akan menganiayanya, jawab al-Hasan”.
Seorang yang lain pernah mengeluh kepada Umar ibn al-Khaththab bahwa cintanya kepada isterinya telah memudar dan ia bermaksud mencereikannya. ‘Umar menasihati, ”sesungguh jelek (niatmu). Apakah semua rumah tangga (hanya dapat) terbina dengan cinta? Dimana watak dan janjimu kepada Allah? Dimana pula rasa malumu kepadanya? Bukankah kamu sebagai sepasang suami isteri, telah saling bercampur (menyampaikan rahasia) dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat?”[3].

            Memang al-Qur’an menegaskan dalam berbagai masalah atau pbrolema kehidupan rumah tangga agar tetap bersabar, sebab boleh jadi apa yang kita tidak disenangi terhadap mereka, tetapi Allah menjadikan dibalik itu mengandung banyak kebaikan. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ 4 [19].


…..فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡ‍ٔٗا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا
….. bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

                Ada satu masalah yang paling ditakutkan oleh setiap orang yang sudah berumah tangga atau orang yang sudah  menikah yaitu bercerei atau thalak. Percereian bisa saja terjadi karena berbagai alasan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pada pasal 19 disebutkan bahwa percereian terjadi karena beragai alasan sebagai berikut:
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lainnya selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain, dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
e.       Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f.       Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan  dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.[4]
            Memperhatikan kondisi ril masyarakat kita bahwa orang bercerei disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya;
Faktor ekonomi yang menjadi penyebab terbanyak terjadinya percereian. Kebutuhan ekonomi memicu banyak perempuan yang bekerja di luar negeri. Di sisi lain, suaminya tidak bekerja dan hanya tinggal di rumah ternyata hanya bisa menghabiskan uang kiriman dari isterinya. Hal tersebut akhirnya menimbulkan perselisihan yang tak kunjung usai. Selain faktor ekonomi, pernikahan dini juga menjadi satu diantara penyebab terjadinya percereian seperti yang terjadi di Indramayu demikian Sodikin Wakil Panitera PA. Di Malang menurut keterangan Widodo Suparjianto Panitera Muda PA Kabupaten Malang, juga faktor ekonomi yang menjadi pemicunya, isteri mengajukan gugatan karena suami tak bisa menafkahi. Di Medan Sumatera Utara menurut Syarwani Panitera Muda Hukum Pengadilan Tinggi Agama, kebanyakan yang mengajukan cerei adalah cerei gugatan para isteri. Kebanyakannya adalah usia muda 30 –an tahun. Di Surakarta menurut Mila Edyun Safitri Pegawai Devisi Data dan Informasi Panitera Muda Hukum PA Surakarta mengatakan; hilangnya rasa taggung jawab terhadap pasangan dan keluarga menjadi alasan paling banyak digunakan pasangan suami isteri untuk memutuskan bercerei, pudarnya keharmonisan, gangguan pihak ketiga dan krisis akhlak. Contoh pada krisis akhlak itu suaminya sering mabuk lalu isterinya mengajukan gugatan.[5]
Secara nasional setidaknya ada 13 (tiga belas) alasan mengapa orang  ingin melaksanakan percereian. Sebagaimana dilansir oleh data dari Badilag (Badan Peradilan Agama) Mahkamah Agung RI. Adapun alasan dimaksud sebagaimana data sebagai berikut;
1. Tak Bisa Akur: 22.590 (48,1 persen)
2. Tinggalkan Pasangan: 10.412 (22,2 persen)
3. Ekonomi: 7.204 (15,3 persen)
4. KDRT: 2.240 (4,8 persen)
5. Pasangan Pemabuk: 1.244 (2,6 persen)
6. Pasangan Penjudi: 874 (1,9 persen)
7. Poligami: 525 (1,1 persen)
8. Cacat Badan: 525 (1,1 persen)
9. Dihukum Penjara: 281 (0,6 persen)
10. Zina: 215 (0,4 persen)
11. Kawin Paksa: 200 (0,4 persen)
12. Murtad: 155 (0,3 persen)
13. Lain-lain: 205 (0,4 persen)
Total Perkara: 46.920
Sumber: data Badilag MA Januari-September 2016.[6]
            Memperhatikan kondisi suami dan isteri yang mengalami percereian atau perselisihan  memang unik. Kadang-kadang ia mencapai klimaks sehingga tampak  bagi masing-masing suami isteri sepertinya tidak ada jalan keluar untuk hidup bersama, dan tidak ada jalan keluar melainkan berpisah. Anggapan semacam ini  kadang-kadang melibatkan berabagai pihak seperti kerabat, teman, sahabat, setelah berlalu beberapa lama ternyata perselisihan keduanya reda, masalah terpecahkan, perselisihan terselesaikan, sebagai karunia Allah kepada rumah tangga yang berkah ini, suami menjadi tenang kembali, demikian juga isteri punya tempat sandaran lagi., demikian juga anak-anaknya semakin tenang dan damai. Karena itu tepat sekali apa yang disampaikan oleh Rasulullah untuk menguatkan sisi posisif yang baik untuk menghadapi sisi negatif yang jelek, sehingga yang negatif tidak menguasai yang positif.
لاَيَفْرَكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمَنَةً إِنْكَرِهَ مِنْهاَ خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا اَخَرُ, رواه مسلم
Janganlah seorang laki-laki mukmin membenci (mencereikan) wanita mukminah (isterinya). Jika ia tidak menyukai salah satu perangainya, niscaya ia masih menyukai dari segi-segi yang lainnya. H.R. Muslim.
            Terjadinya thalak merupakan jalan keluar yang paling akhir dan penghabisan bagi sesuatu yang sulit untuk dipecahkan oleh suami isteri. Maka thalak adalah jalan keluar yang dapat memberikan pertolongan untuk keluar dari kerusakan dan keburukan yang datang. Jadi thalak ini merupakan jalan keluar bagi berbagai persoalan keluarga (suami dan isteri). Dan disyariatkan untuk memenuhi kebutuhan, dan dibenci untuk dilakukan jika tanpa adanya kebutuhan.
            Di negeri kita istilah thalak dikenal dengan suami yang mencereikan isterinya, sedangkan isteri yang menggugat cerei suaminya disebut khulu’. Khulu’ dengan cara memberikan tebusan atau khulu’ dengan cara tanpa tebusan (fasakh). Thalak dan khulu’ adalah sebagian jalan, dan jalan akhir bagi suami isteri yang tak bisa lagi mempertahankan rumah tangganya.
Isteri yang meminta cerei kepada suaminya tidak akan bisa mencium baunya surga apalagi masuk dalam surga itu sendiri. Hal ini sesuai dengan hadits sebagai berikut;
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجُهَا الطَّلاَقَ فيِ غَيْرِمَا بَأْسٍ, فحَرَامٌ عَلَيْهَا رَا ئِحَةَالْجَنَّةِ
Perempuan mana saja yang meminta thalak kepada suaminya dengan tanpa sebab maka haram baginya bau wewangian surga. HR. ke lima perawi hadits kecuali an-Nasa’i.
            Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa ini adalah dalil bahwa permintaan thalak isteri kepada suaminya diharamkan dengan pengharaman yang sangat besar, karena orang yang tidak bisa mencium wewangian surga tak akan pernah masuk kedalamnya. Cukuplah dengan dosa yang membawa si pelaku dosa kepada tingkatan tersebut sambil mengisyaratkan keburukan dan kekerasannya.[7]
Selanjutnya beliau mengatakan jika thalak terjadi tanpa sebab dari semula, berarti thalak tidak memiliki kebutuhan untuk menghilangkan ikatan perkawinan. Bahkan tindakan ini adalah sebuah tindakan yang bodoh dan pendapat yang hina. Hanya sekedar tindakan pengufuran terhadap kenikmatan, serta semata-mata tindakan aniaya terhadap isteri, keluarga dan anak-anaknya.[8]
            Setelah percereian terjadi, maka timbullah masalah baru yaitu mereka bukanlah lagi bersatatus sebagai suami isteri melainkan orang lain (bukan muhrim). Mereka sama saja dengan orang kebanyakan (masyarakat umum). Mereka boleh bertemu satu sama lainnya sesuai dengan ketentuan agama. Bahkan mereka boleh tinggal di rumah (mantan) suami selagi mereka dalam keadaan masa iddah. Artinya (mantan) suami tidak boleh mengusirnya selagi masa iddah. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat ath-Thalaq 65 [1].
…..لَا تُخۡرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخۡرُجۡنَ إِلَّآ أَن يَأۡتِينَ بِفَٰحِشَةٖ مُّبَيِّنَةٖۚ …..
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.
            Prof. Hamka dalam menafsirka ini ayat “janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka keluar melainkan jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata maksudnya adalah bahwa selama di dalam iddah itu perempuan tersebut masih diberi hak oleh Allah tinggal dalam rumah itu dan dalam ayat ini dijelaskan bahwa selama dalam iddah itu rumah tersebut masih rumah mereka, meskipun yang menyediakan rumah itu sejak semula ialah si suami. Oleh karena selama dalam pergaulan mereka telah hidup berdua dalam satu rumah, perempuan itupun telah turut mempunyai rumah itu. Apatah lagi jika kehidupan rumah tangga atas dasar satu isteri dalam perkongsian membina hidup, maka pada beberapa bangsa berlakulah adat yang bernama “gono-gini” atau “sarang dibagi, sekutu dibelah” atau “seguna sekaya” yang maksud ketiga adat itu adalah satu, yaitu dua orang suami isteri yang merantau meninggalkan kampung halaman, lalu berusaha berdagang, atau bertani, atau jadi pegawai negeri, yang sama-sama dirasakan bahwa segala usaha adalah usaha berdua. Dalam hal yang demikian tentu saja rumah tadi hak berdua pula. Maka tidaklah boleh si laki-laki mengeluarkan isteri yang dicereikan dalam iddah itu dari dalam rumah itu sebelum lepas idahnya.[9]
            Disamping itu (mantan) suami sebagai bentuk tanggung jawabnya, maka dia harus memberikan nafkah selama dalam masa iddah kepada (mantan) isterinya. Yaitu at-Tasrih bi ihsan (mencereikan dengan cara yang baik) sebagaimana diperintahkan Allah itu menghendaki agar (mantan) suami memberi nafkah dengan cara yang wajar sebagaimana yang diberikannya sebelum thalak, selama masih dalam batas-batas kemampuan ekonominya.
            Selanjutnya wanita yang sedang menjalankan masa iddah harus tinggal di rumah dan tidak keluar kecuali ada keperluan. Hal ini sesuai dengan hadits dari Jabir bin Abdullah;
طُلِّقَتْ خَالَتِي فَأَرَادَتْ أَنْ تَجُدَّ نَخْلَهَا, فَزَخَرَهَا رَجُلٌ أَنْ تَخْرُجَ, فَأَتَتِ النَّبِيَّ ص م. فَقَالَ:
بَلَي, فَجُدِّي نَخْلَكِ, فإنَّكَ عَسَي أَن تَصَدَّقِي أَوْتَفْعَليِ مَعْرُوْفاً. رواه مسلم

Bibiku dicereikan oleh suaminya, lalu hendak dia memetik kurmanya. Kemudian ada seorang laki-laki yang melarangnya keluar. Lalu dia datang kepada Nabi SAW, kemudian beliau bersabda, ‘Ya, petiklah kurmamu, barangkali engkau akan dapat bersedekah atau berbuat kebaikan. H.R.Muslim.
Wallahu a’lam.
Karawang, 5 Oktober 2016. (Masykur H Mansyur)







DAFTAR PUSTAKA


Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahriir al- Mar’ah fi Ashr al-Risaalah, Terj. As’ad Yasin, Kebebasan Wanita, Jilid VI. Cet IV, 2014.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, 2006.
Dian Erika Nugraheny, Umar Mukhtar, Republika, Lonjakan Percereian Ancam Kualitas Anak, Rabu, 5 Oktober 2015.
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 9, Jakarta, Gema Insani Press, 2015.
Lilis Sri Handayani dan Christyaningsih, Republika, Indramayu Masih Puncaki Percereian, Selasa 4 Oktober 2016.
M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, Cet. III, 2013.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Jilid IX, Jakarta, GIP, 2011.


















Karawang, 5 Oktober 2016
مشكور منصور


[1] Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahriir al- Mar’ah fi Ashr al-Risaalah, Terj. As’ad Yasin, Kebebasan Wanita, Jilid VI. Cet IV, 2014, hlm. 27.
[2] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[3] M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, Cet. III, 2013, hlm. 397-398.
[4] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[5] Lilis Sri Handayani dan Christyaningsih, Republika, Indramayu Masih Puncaki Percereian, Selasa 4 Oktober 2016.
[6] Dian Erika Nugraheny, Umar Mukhtar, Republika, Lonjakan Percereian Ancam Kualitas Anak, Rabu, 5 Oktober 2015.
[7] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Jakarta, GIP, 2011,  Jilid IX, hlm.354
[8] Ibid,
[9] Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 9, Jakarta, Gema Insani Press, 2015, hlm. 186.
Share:

Postingan Populer

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.