Khutbah Jum’at
Kewajiban Membayar Hutang
Oleh Masykur H Mansyur
Fakultas Agama Islam Unsika Karawang
Dalam kondisi kehidupan yang serba sulit ini, manusia selalu
membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya, rasa saling membutuhkan ini adalah
hal yang wajar karena sebagai mahluk sosial pastilah manusia akan berinteraksi satu
sama lainnya. Dalam hubungan sosial ini manusia dihadapkan pada berbagai
problema kehidupan, sehingga memungkinkan untuk menerima dan memberi bantuan
satu sama lainnya. Misalnya ketiadaan harta benda, sehingga mengharuskan untuk
meminjam atau berhutang kepada orang lain. Dan berhutang adalah kegiatan yang
sangat umum terjadi di masyarakat kita, baik di desa-desa, di kampong-kampung
maupun di kota-kota besar. Bahkan mungkin saja sebagian dari kita yang hadir di masjid ini ada yang
berhutang antara satu dengan yang lainnya.
Orang berhutang karena terdesak oleh berbagai kebutuhan. Kebutuhan
manusia itu banyak sekali, diantaranya kebutuhan fa’ali seperti makan/minum,
sandang/papan, kemudian kebutuhan keamanan dan ketentraman, kebutuhan akan ketertarikan
pada kelompok (sosial), kebutuhan akan rasa penghormatan serta kebutuhan akan
pencapaian cita-cita, dan lain-lain. Melihat dari berbagai kebutuhan tersebut,
maka sangat memungkinkan bagi seseorang berhutang atau pinjam-meminjam untuk
memenuhi kebutuhannya tersebut.
Berhutang hukumnya boleh disertai ada kesanggupan untuk
membayarnya. Sekiranya ada orang yang berhutang, tapi tidak ada niat untuk
melunasinya, maka kelak ketika bertemu dengan Allah dianggap sebagai pencuri.
Sebagaimana hadits Rasulullah SAW,
وَأَيُّمَا رَجُلٍ ادَّانَ مِنْ رَجُلٍ دَيْنًا وَاللَّهُ
يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلَيْهِ فَغَرَّهُ بِاللَّهِ وَاسْتَحَلَّ
مَالَهُ بِالْبَاطِلِ لَقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ يَلْقَاءُ وَهُوَ سَارِقٌ
Dan
siapa saja laki-laki yang berhutang dari seseorang, sedang Allah mengetahui
bahwa ia tidak bermaksud untuk melunasinya, dan ia meniupnya dengan nama Allah
dan menghalalkan hartanya dengan batil, maka ia akan menemui Allah sebagai
seorang pencuri." (H.R. Ahmad).
Hadits
ini menunjukkan kebolehan berhutang asalkan ada keinginan dan sanggup
mengembalikannya, sebab kalau tidak, maka sungguhlah berat baginya karena
dianggap sebagai pencuri.
Sebelum berhutang sebaiknya memperhatikan kesanggupan dan kemampuan
diri dengan mengukur seberapa besar penghasilan yang dimiliki, dibandingkan
dengan kondisi keuangan yang ada, apakah nantinya akan sanggup melunasinya
dengan jangka waktu yang sudah ditentukan sebelumnya. Dengan adanya niat juga,
hal ini menunjukkana adanya komitmen dan keseriusan dari pihak yang berhutang
untuk menyelesaikan hutang-hutangnya. Dan hendaknya yang berhutang juga agar
mendo’akan orang yang menghutanginya itu. Sekiranya ditengah jalan menemukan
kendala karena tidak sesuai dengan janji yang sudah ditetapkan, alangkah bijaksananya
untuk memberitahukannya.
Melunasi
hutang sangatlah penting. Sangking pentingnya sampai-sampai Rasulullah SAW
tidak mau menshalatkan jenazah orang yang berhutang sampai ada kesanggupan
melunasinya oleh ahli warisnya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.
عَنْ
سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا فَقَالَ هَلْ
عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ قَالُوا لَا فَصَلَّى عَلَيْهِ ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ
أُخْرَى فَقَالَ هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ قَالُوا نَعَمْ قَالَ صَلُّوا عَلَى
صَاحِبِكُمْ قَالَ أَبُو قَتَادَةَ عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَصَلَّى
عَلَيْهِ رواه البخاري
Dari
Salamah bin Al Akwa' radliallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
dihadirkan kehadapan Beliau satu jenazah agar dishalatkan. Maka Beliau
bertanya: "Apakah orang ini punya hutang?" Mereka berkata:
"Tidak". Maka Beliau menshalatkan jenazah tersebut. Kemudian
didatangkan lagi jenazah yang lain kepada Beliau, maka Beliau bertanya kembali:
"Apakah orang ini punya hutang?" Mereka menjawab: "Ya".
Maka Beliau bersabda: "Shalatilah saudaramu ini". Berkata, Abu
Qatadah: "Biar nanti aku yang menanggung hutangnya". Maka Beliau
shallallahu 'alaihi wasallam menshalatkan jenazah itu.
Dalam al-Qur’an surah an-Nisa [12] Allah SWT menjelaskan bahwa
pembagian waris itu bisa dilaksanakan setelah menyelesaikan masalah wasiat dan
hutangnya. Wasiat yang bisa dilaksanakan adalah wasiat yang tidak bermotifkan
maksiat atau mendorong berlangsungnya kemaksiatan.
Pernah terjadi kisah orang yang tidak mau bayar hutang. Pada masa
Jahiliyyah aku adalah Khabbab bin al-Aratti seorang tukang besi di Mekkah,
Datanglah al 'Ash bin Wail yang memperbaiki sebuah pedang. Setelah pedang
selesai dikerjakan maka Khabbab menemui
al-Ash bin Wail untuk menagih agar dia membayarnya. Ternyata al-Ash bin Wail belum
membayarnya, dan berjanji akan membayarnya dihari lain. Setelah agak lama
datanglah Khabbab untuk menagihnya kembali. Tapi apa yang terjadi, dengan nada
cemooh al-Ash bin Wail berkata: "Aku tidak akan membayarnya kepadamu
kecuali kamu mau mengingkari (kufur) Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam
". Aku katakan: "Demi Allah, aku tidak akan kufur kepada Muhammad
shallallahu 'alaihi wasallam sampai Allah mematikan kamu lalu kamu
dibangkitkan. Dia berkata: "Biarkanlah sampai aku mati lalu dibangkitkan
dan disana aku akan mendapatkan harta dan anak lalu aku akan bayar hutang
kepadamu". Maka Allah Ta'ala menurunkan QS Maryam ayat 77.
أَفَرَءَيۡتَ ٱلَّذِي
كَفَرَ بَِٔايَٰتِنَا وَقَالَ لَأُوتَيَنَّ مَالٗا وَوَلَدًا ٧٧
77.
Maka apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami dan ia
mengatakan: "Pasti aku akan diberi harta dan anak"
Pertanyaannya adalah bagaimana nasib seorang mukmin yang meninggal dunia
dengan meninggalkan hutang-hutangnya. Sedangka ahli waris atau orang lain yang
masih hidup tidak bersedia menanggungnya.
Pertama,
jiwa orang tersebut terkatung-katung disebabkan oleh hutangnya, sampai
hutangnya dilunasi.
Kedua,
orang yang meninggal dunia dan memiliki tanggungan hutang, kelak di akhirat
akan dituntut untuk melunasinya dengan kebaikan-kebaikan yang ia miliki untuk
diberikan kepada pemberi hutang. Jika kebaikannya belum cukup melunasi
hutangnya, maka keburukan-keburukan pemberi hutang akan dilimpahkan kepadanya.
Barangsiapa meninggal dunia, sedangkan ia masih memiliki tanggungan hutang,
disana tidak ada dinar dan dirham, tetapi hanya ada kebaikan dan keburukan.
(H.R. Ahmad).
Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr; Rasulullah saw bersabda;
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّ الدَّيْنَ يُقْضَى مِنْ صَاحِبِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا مَاتَ إِلَّا مَنْ
يَدِينُ فِي ثَلَاثِ خِلَالٍ الرَّجُلُ تَضْعُفُ قُوَّتُهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَسْتَدِينُ
يَتَقَوَّى بِهِ لِعَدُوِّ اللَّهِ وَعَدُوِّهِ وَرَجُلٌ يَمُوتُ عِنْدَهُ مُسْلِمٌ
لَا يَجِدُ مَا يُكَفِّنُهُ وَيُوَارِيهِ إِلَّا بِدَيْنٍ وَرَجُلٌ خَافَ اللَّهَ عَلَى
نَفْسِهِ الْعُزْبَةَ فَيَنْكِحُ خَشْيَةً عَلَى دِينِهِ فَإِنَّ اللَّهَ يَقْضِي عَنْ
هَؤُلَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
(IBNUMAJAH
- 2426) : Dari Abdullah bin Amru ia berkata, "Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Pada hari kiamat hutang itu akan diminta
pembayarannya dari pemiliknya kecuali seseorang yang berhutang dalam tiga
kondisi; seseorang yang berada di jalan Allah dalam keadaan lemah kemudian ia
berhutang untuk menambah kekuatannya dalam menghadapai musuh Allah dan
musuhnya. Dan seorang lelaki yang meninggal, sementara disampingnya ada seorang
muslim yang tidak mendapatkan kain untuk membungkus dan mengkafaninya kecuali
dengan berhutang. Serta seorang lelaki yang takut kepada Allah lantaran dirinya
dalam keadaan bujang, sehingga ia berhutang untuk menikah demi menjaga
agamanya. Maka Allah akan membayarkan hutang mereka pada hari kiamat (H.R) Ibn
Majjah)
Kendatipun betapa sulitnya hidup tanpa dibebani dengan hutang dalam
hidup ini, tidak akan ada artinya dengan kesulitan yang dihadapi di akhirat
kelak seandainya segala macam hutang kita tidak terbayarkan. Rasulullah SAW
mengajarkan kita untuk berdo’a sebagaimana dalam hadits dari Urwah.
عن عُرْوَةَ
أنَّ عائِشَةَ رَضِىَ اللَّهَ عنها أخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو فِي الصَّلَاةِ وَيَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ
بِكَ مِنْ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ
يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنْ الْمَغْرَمِ قَالَ إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ
فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ
(BUKHARI
- 2222) : Dari 'Urwah bahwa 'Aisyah radliallahu 'anha mengabarkan kepadanya
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdo'a dalam shalat:
"Allahumma innii a'uudzu bika minal ma'tsami wal maghram" (Ya Allah
aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan terlilit hutang). Lalu ada
seseorang yang bertanya: "Mengapa anda banyak meminta perlindungan dari
hutang, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Sesungguhnya seseorang
apabila sedang berhutang ketika dia berbicara biasanya berdusta dan bila
berjanji sering menyelisihinya".
Wallahu
a’lam bi al-shawab.