Kejujuran Sebagai Manifestasi dari Ucapan dan Tindakan
Oleh
Masykur H Mansyur (IAIN Syekh Nurjati Cirebon DPK Unsika Karawang)
Kejujuran
adalah salah satu dasar utama dalam kehidupan, baik dalam kehidupan keluarga,
bermasyarakat dan bernegara. Kejujuran merupakan salah satu landasan pokok
dalam prinsip saling percaya antara satu dengan yang lainnya. Sesungguhnya
landasan dari kejujuran adalah keberanian dalam mengungkapkan suatu kebanaran.
Orang jujur adalah orang yang benar perkataan dan keyakinannya serta
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kejujuran (kepercayaan) adalah landasan dari iman,
sebaliknya dusta (kebohongan adalah landasan dari kemunafikan.
Jadi pada prinsipnya jujur mengandung arti yang sangat luas, karena kejujuran itu
sumbernya dari hati. Jujur merupakan kesesuaian antara hati, perkataan, dan
perilaku yang kita tampilkan. Jika diantara ketiganya ada yang tidak sesuai,
maka itu merupakan sifat yang sebaliknya yaitu sifat bohong atau dusta.
Allah
menjelaskan dosa besar orang yang berkata, tapi tidak melaksanakan apa yang
dikatakannya, al-Qur’an
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٢ كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ
أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٣
Wahai
orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu
kerjakan
Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan
Di Kota al-Marwa, terdapat seorang bernama Nuh bin Maryam. Ia
seorang kepala negara dan sekaligus jaksa agung di kota tersebut. Ia juga
dikenal sebagai orang yang kaya harta dan memiliki salah seorang pembantu
penjaga kebun yang bernama Mubarak.
Suatu saat ia berpesan pada
pembantunya, "Wahai Mubarok, jagalah kebun anggurku, peliharalah,
siramilah sampai waktunya panen tiba." Selanjutnya, Mubarok pun bermukim
di kebun anggur sang majikan dan memelihara kebunnya. Setelah beberapa bulan
kemudian, sang majikan datang ke kebunnya dan memanggil budaknya. Ia berkata,
"wahai Mubarok, ambilkan aku setangkai anggur, aku ingin sekali mencicipi
anggur hasil kebun ini. Mubarok-pun memetik setangkai anggur dan diberikan
kepada tuannya.
Namun, apa yang terjadi?
Setelah tuannya memakan sebutir anggur, ia pun membuangnya dan sambil berkata,
"ini masam, Mubarok," dengan nada kecewa sang majikan kembali
memerintah sang budak itu, "carikan anggur yang manis. Setelah mendapatkan
anggur, maka diberikannya kepada majikan, lagi-lagi anggurnya asam, di suruhnya
lagi untuk memetik anggur yang manis untuk ketiga kalinya, ternyata rasa anggur
tetap asam" dengan nada kecewa dibuanglah anggur tersebut. Akhirnya,
majikannya marah dan berkata, "Apakah kau tidak bisa membedakan mana
anggur yang manis dan masam?" Lalu, Mubarok berkata, "wahai tuanku,
aku tidak dapat membedakannya, tuan. Sebab, aku tak pernah mencicipinya."
Mendengar jawaban itu,
alangkah herannya sang majikan dan berkata, "Kau tidak pernah
mencicipinya? Padahal, kau sudah sekian lama aku tugaskan menjaga kebun
ini." "Iya tuan. Engkau menugaskan aku untuk menjaganya, bukan untuk mencicipinya.
Karenanya, aku tidak berani mencicipinya walaupun satu buah," jawab
Mubarok.
Nuh bin Maryam akhirnya tidak
jadi marah. Persoalan tidak mendapatkan anggur yang manis terlupakan begitu
saja. Ia berdiam sejenak dan merenung dengan penuh kekaguman atas sikap
kejujuran sang penjaga kebunnya. Belum pernah ia mendapati seseorang yang lebih
jujur dan memegang amanah melebihi budak di hadapannya ini. Akhirnya, Mubarok
dimerdekakan dan diberikan harta yang berkecukupan untuk bekal kehidupannya.
Dari kisah keteladanan
tersebut, kita dapat melihat bagaimana kejujuran dalam diri Mubarok yang
dibalut dengan spirit keimanan dan ketakwaan. Komitmen dalam mengemban amanah
yang diberikan oleh majikannya, ia jaga dengan penuh sikap totalitas dan
tanggung jawab yang didasarkan karena ketaatan kepada Allah SWT, bukan karena
pamrih, dan pujian dari manusia.
Perilaku sosial seorang mukmin hendaknya mampu
meneladani kejujuran Mubarok, dengan memperkuat iktikad perubahan lebih baik
dan selalu bersikap jujur dalam mengemban setiap amanah yang diterimanya.
Nabi SAW bersabda,
"Hendaklah kamu berlaku jujur karena kejujuran menuntun mu pada kebenaran,
dan kebenaran menuntunmu ke surga. Sebaliknya dan, hindarilah olehmu berlaku
dusta karena kedustaan menuntunmu pada kejahatan, dan kejahatan menuntunmu ke
neraka
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ
، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ
وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا ، وَإِيَّاكُمْ
وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ
الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ
وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu, ia berkata:
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu
berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan
mengantarkan seseorang ke surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan
tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur.
Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada
kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke neraka. Dan jika seseorang
senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh
sebagai pendusta (pembohong). (HR Muslim).
Menurut
Ulama ada 6 (enam ) hal
1. Jujur dalam mengelola informasi. Inilah bentuk kejujuran yang
paling jelas.
2. Jujur dlam niat dan kemauan (ikhlas), jika terbetik setitik
riya’ di dalam diri seseorang, maka kejujuran (keikhlasan) niatnya menjadi
rusak.
3. Jujur dalam pendirian dan kemauan. Contoh seseorang berjanji
bahwa seandainya Allah memberikan kekuasaan kepadanya, akan dipergunakan untuk
kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok.
4. Jujur pada kesetiaan pada rencana, yang kita sebut istiqamah
5. Jujur dalam perbuatan, yaitu satu kata dengan perbuatan
6. Jujur dalam menjalankan agama secara menyeluruh, yaitu kejujuran
yang menurut para ulama adalah kejujuran
yang paling tinggi dan paling mulia. Contohnya
jujur dalam hal takut kepada siksa Allah dan mengharapkan ridha-Nya.
Wallahu a’lam bi al-shawaab.