• This is default featured slide 1 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 2 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 3 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

KEKUATAN CINTA DAN KEDALAMAN JIWA



KEKUATAN CINTA DAN KEDALAMAN  JIWA

PENGORBANAN CINTA
OLEH MASYKUR H MANSYUR
FAKULTAS AGAMA ISLAM UNSIKA KARAWANG

       Vilfredo Pareto (1848 – 1923) mengemukakan suatu teori “Circulation of the Elites bahwa kelompok kecil dari kumpulan orang-orang elit dalam sebuah komunitas memiliki pengaruh besar pada sebagaian populasi. Ada pernyataan Pareto yang sangat masyhur yaitu perbuatan dan kebiasaan manusia dapat diklasifikasikan dalam logis dan non logis. Bahwa kita hidup, bekerja, mencari uang, memakai pakaian, berpikir, belajar, mencumbu satu sama lain dan lain-lain – semua tindakan dan kebiasaan seperti ini adalah logis karena dapat membawa kita ke hasil-hasil yang logis. Sebagai misal, seorang duduk di atas lututnya menyirami badannya dengan bensin dan kemudian membakar dirinya secara sengaja dan sadar agar negaranya dapat diselamatkan dari api yang lebih besar. Ini adalah perbuatan yang tidak logis karena ia melakukannya tanpa menuntut suatu imbalan, ganjaran atau kompensasi.
       Suatu hari Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900) seorang Filosof Jerman dan ahli Filologi berjalan menyusuri suatu jalan dimana ia melihat seekor kuda yang berusaha keras untuk keluar dari sebuah parit, bernafas terengah-engah dibawah muatan berat dari sebuah kereta yang terjungkir di atasnya. Nietzche mengamati si pemilik sedang berusaha memaksa kuda itu agar keluar dari himpitan sehingga ia tidak akan kehilangan muatan keretanya. Binatang itu sudah demikian terjerembab untuk bergerak, tetapi si pemilik yang nampaknya terlalu sayang pada muatan kereta dari pada keselamatan kudanya, mulai mengayunkan cemeti di atas punggung kuda secara sangat bengis. Kuda itu mulai bergerak sedikit keluar dari parit tersebut, tetapi ia gagal dan terjatuh kembali ke dalam parit, salah satu kakinya patah dan kelihatan sangat payah. Marah menyaksikan pandangan yang sangat mengerikan akibat brutalitas manusia tersebut, filosof tua itu memberitahukan si petani agar memberhentikan cambuknya pada kuda yang malang itu. Ia menasihati agar pertama-tama muatan itu agar diambil terlebih dahulu, baru kemudian kuda itu ditolong keluar dari parit. Tetapi si pemilik tidak menggubris kata-kata Nietzche. Karena itu terus menghujani cambukan dan mendorong kuda itu. Hal membuat marah sang filosof sedemikian rupa sehingga ia melompat dan memegang leher baju si petani, sambil berkata; “Saya tidak akan membiarkanmu mencambuk binatang malang ini begitu kejam!”. Akan tetapi petani itu melepaskan diri dan memukul jatuh Nietzche dan kemudian memukulnya sangat keras, sehingga ia meninggal beberapa hari emudian. Filosof yang dimasa mudanya mencintai kekuasaan dan kekauatan serta memujanya, sekarang berdiri melawan kekuatan itu untuk menyelamatkan makhluk yang lemah dan terinjak-injak; akhirnya ia mengorbankan dirinya untuk suatu cita-cita kemanusiaan.
         Jika kita mendengar cerita ini kita akan bereaksi dengan satu perasaan kontradiktif. Kita menyadari bahwa kontradiksi perasaan kita terhadap peristiwa itu disebabkan karena kita memiliki dua kepribadian dalam ke-aku-an (I-ness). Kepribadian pertama kita menghargai keagungan spiritual Nietzche, sentimen moral dan nuraninya yang responsif. Ia akan ikut menyertai tindakpengorbanan itu dalam menyelamatkan suatu makhluk yang malang dari tirani manusia. Ini adalah kepribadian manusiawi kita yang selalu sensitive untuk selalu mentoleriri suatu pemandangan yang kejam dan mengerikan. Tetapi kita mempunyai kepribadian lain yang akan bereaksi terhadap kejadian di atas dengan cara lebih praktis. Ia akan mencemooh pengorbanan Nietzche atas dirinya demi seekor binatang angkutan. Ia akan melihat seluruh peristiwa itu sebgai lucu dan absurd. “Seorang genius besar dalam sejarah mengorbankan hidupnya yang sangat bermanfaat demi menyelamatkan seekor kuda ?. Alangkah pandirnya?. Betapa lucu dan tidak masuk akal”. Demikianlah ia akan melakukan rasionalisasi.
        Tindakan Nietzche di luar logika. Logika terlalu sempit untuk dapat membenarkannya. Tindakannya adalah tindakan murni berdasarkan cinta -  sebagai esensi kesadarannya. Namun jika cinta diambil untuk mengabdi suatu kepentingan pribadi, untuk memenuhi suatu keinginan, untuk memuaskan suatu harapan, itu bukan cinta. Itu adalah dagang. Cinta adalah memberi, bukan mengambil atau kompensasi. Cinta adalah memilih dirinya mati agar yang lain bisa hidup, agar suatu cita-cita menang, agar suatu impian menjadi kenyataan ! Ini adalah makna sesungguhnya dari i-thar yang berarti memberikan nyawa sendiri agar yang lain bisa hidup, memilih yang lain hidup sebagai ganti dirinya, dan mengorbankan diri sendiri, supaya yang lain dapat hidup. Jika ia mengetahui bahwa kematiannya akan menyelamatkan suatu kehidupan atau cita-cita, ia memilih mati, agar yang lain hidup, ia akan memilih kematian dirinya, kematian kepentingannya, namanya, kekayaannya, segala yang ia miliki – agar supaya yang lain dapat diselamatkan.
         Cerita di atas disarikan dari buku “Man and Islam” karya Ali Shariati yang diterjemahkan oleh M. Amin Rais “Tugas Cendekiawan Muslim”.
            Itu adalah makna cinta. Yaitu cinta sebagai suatu kekuatan yang mendambakan pengorbanan. Mengorbankan seluruh miliknya, keuntungannya, kepentingannya, bahkan hidupnya sendiri demi mereka yang ia cintai dan demi cita-cita yang ia perjuangkan.
Kalau kita persembahkan kekuatan cinta ini kepada ibadah kepada Allah, yaitu ibadah yang mencakup segala hal yang disukai dan diridhai  Allah, baik itu berupa lisa maupun tindakan yang lahir ataupun yang tersembunyi. Perspektif ibadah seperti inilah yang harus ditanamkan oleh kita semua, sehingga kita semua selalu bersemboyan seperti yang digambarkan oleh Allah, dalam al-Qur’an surat al-An’am 6 :[162]
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٦٢
162. Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.
Kalau kita sudah bersedia mengorbankan hanya untuk Allah semata, maka manusia sudah bergerak menuju ke arah menjadi manusia (sempurna). Wallahu a’lam.
Karawang, 4 November 2016. (Masykur H Mansyur).
Share:

PENDIDIKAN KELUARGA ISLAMI MEMILIH PASANGAN HIDUP



PENDIDIKAN KELUARGA ISLAMI
MEMILIH PASANGAN HIDUP

MEMILIH CALON SUAMI YANG BAIK
Oleh: Masykur H Mansyur
Fakultas Agama Islam
Unsika Karawang

            Diantara kita ada yang mengungkapkan perasaan cintanya kepada seseorang secara terang-terangan. Seperti misalnya seorang pemuda mengatakan “saya mencintaimu seratus prosen” atau “saya ingin melamarmu”, atau “saya ingin menikahimu”. Ada kalanya juga yang melakukannya dengan cara malu-malu atau secara implisit, dengan sindiran atau dengan indikasi. Seperti misalnya, “kamu sangat layak dan cocok untuk dinikahi”, atau dengan mengatakan “seseorang yang mendapatkanmu pastilah dia yang paling beruntung”, atau berkata kepada perempuan yang kita taksir “saya sedang mencari perempuan shalehah sepertimu”.  Ungkapan-ungkapan seperti itu biasanya seorang perempuan merasakan semakin tersanjung dan melayang-layang pikirannya.
Di masyarakat kita, sudah menjadi sesuatu yang lazim bahwa pihak laki-laki-lah yang melamar pihak wanita, dan hanya sedikit pihak perempuan yang melamar pihak laki-laki. Dalam ajaran Islam memang pihak lelaki-lah yang melamar, bukan pihak perempuan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan pihak perempuan bisa juga melamar pihak laki-laki.
Khitbah atau melamar atau meminang merupakan pernyataan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya  dengan perantaraan seorang yang sangat dipercayai. Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa khitbah atau tunangan adalah ; “mengungkapkan keinginan untuk menikah dengan seseorang perempuan tertentu dan memberitahukan keinginan tersebut kepada perempuan tersebut dan walinya”.[1]
Pemberitahuan kepada perempuan dan walinya bisa dilakukan secara langsung oleh lelaki yang hendak melamarnya, atau bisa juga dengan cara memakai perantara dari keluarganya. Jika perempuan yang hendak di lamar atau keluarganya setuju, maka tunangan/lamaran dinyatakan syah. Konsekwensi setelah melaksanakan khitbah atau melamar bagi kedua insan ini, masih berstatus sebagai orang lain, mereka boleh saja berinteraksi satu sama lainnya sesuai dengan batas-batas yang sudah jelas menurut yang diperbolehkan oleh syariat, yaitu melihat wajah dan telapak tangan. Karenanya merupakan kesalahan besar dan kemungkaran yang jelek serta kebodohan akan hukum-hukum agama kalau mereka yang sudah terikat dalam pinangan melakukan hal-hal yang melanggar hukum agama. Orang tua atau wali dari masing-masing pihak harus memperhatikan tata pergaulan mereka. Karena khitbah atau melamar itu sendiri hanya sekedar janji untuk menikah, dan bukan merupakan nikah itu sendiri. Sesungguhnya pernikahan itu tidak akan terjadi melainkan dengan diselenggarakannya akad nikah yang sudah makruf.
Selama sebelum dilaksanakannya akad nikah, maka harus bersih dari persentuhan yang haram dan berdua-duaan, bersepi-sepi (kencan) yang haram melakukan hal-hal yang tidak dihalakan menurut agama. Berbeda dengan budaya Barat, bahwa bertunangan menurut Barat “terutama menurut ajaran yang disebarkan oleh filsuf Inggeris Bertrand Russel, atau filsuf Eksistensialis perancis Jean Paul Satre, ialah pergaulan  bebas dengan janji kelak akan menikah. Bebas luar dalam, dan menikah bukan masalah[2]. Selama perkawinan menjadi tujuannya, maka antara yang mencintai dan yang dicintai harus memiliki kadar ketenangan, maka sebaiknya perkwinan segera dilaksanakan untuk menjauhi beberapa larangan yang sering terjadi karena percintaan yang panjang. Seperti kemungkinan mengendornya perasaan salah seorang dari mereka, atau terpaksa meninggalkan perkawinan karena tekanan keadaan.
Di abad modern ini, masih ada sebagian orang yang mempertanyakan tentang bolehkah seorang perempuan melamar seorang laki-laki?, karena memang hal ini merupakan peristiwa langka. Atau karena  mungkin sudah menjadi fithrahnya bagi perempuan itu cenderung merasa malu. Disamping kebiasaan masyarakat kita bahwa perempuan itu bersifat pasif atau menunggu untuk di lamar. Sehingga ketika ada seorang perempuan yang ingin melamar pria, banyak orang yang memandang sebagai hal yang aneh, berani atau juga unik. Hal ini menjadikan perempuan terkendala untuk berani melamar pria idaman. Padahal menurut beberapa keterangan hadits menunjukkan tidak ada larangan wanita melamar pria.
Seorang bapak haruslah selektif dalam memilihkan pasangan hidup untuk anak gadisnya, begitu pula calon suami atau seorang pemuda, hendaknya juga selektif dalam memilih calon isteri yang sesuai, yaitu sesuai dengan ajaran agama. Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda.
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَا لِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَا لِهَا وَلِدِيْنِهَا, فَظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. روا ه البخاري
Perempuan itu dinikahi karena empat hal; yaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. , karena kalau tidak, niscaya kamu akan celaka. H.R. Bukhari.
Dengan demikian keluarga muslim sangat mendambakan akan kelanggengan pernikahan dengan berpegang teguh dengan pilihan yang baik dan asas yang kuat sehingga mampu merealisasikan kejernihan, ketentraman, kebahagiaan dan kasih sayang sehingga tercipta keluarga sakinah, mawaddah warahmah. Semua itu dapat diraih dengan adanya akhlak dan agama. Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa;
Agama dapat semakin menguat seiring dengan bertambahnya umur, sedangkan akhlak akan semakin lurus seiring dengan berjalannya waktu dan pengalaman hidup. Adapun tujuan lainnya yang sering mempengaruhi manusia seperti harta, kecantikan dan jabatan, semuanya itu bersifat temporal. Hal itu tidak dapat menciptakan kelanggengan hubungan, bahkan umumnya malah menjadi pemicu timbulnya sifat saling berbangga diri dan merasa tinggi serta ingin dipandang oleh orang lain[3].

Nashir al-Umar mengatakan “hari ini banyak orang ‘sembrono’ dalam memilih pasangan, sehingga menjadikan pangkat dan jabatan sebagai pertimbangan utama dalam memilih calon menantu. Semestinya faktor agamalah yang menjadi pertimbangan terdepan dalam memilih pasangan hidup[4].
            Memang pada umumnya yang menarik minat dan perhatian para lelaki untuk menikah adalah ke-empat hal tersebut, dan perempuan yang memiliki agama oleh mereka diposisikan pada bagian paling akhir. Oleh sebab itu, Nabi SAW memerintahkan mereka agar jikalau mereka telah menemukan perempuan yang memiliki agama, maka hendaklah mereka memilih perempuan tersebut. Misalnya ada orang yang mengomentari seorang pemuda yang hendak menikah dengan mengatakan “calon isterimu itu agamanya jelek”, ia akan menjawab, “insya Allah ia akan menjadi baik setelah saya nikahi”. Tetapi, ketika ada yang berkata kepada salah seorang dari mereka, “calon isterimu orang miskin”, pemuda itu tidak mau mengatakan, “Tidak. insya Allah ia akan menjadi kaya setelah saya nikahi”[5]
Dasar pihak lelaki yang melamar wanita adalah firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah 2 [235].
وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا عَرَّضۡتُم بِهِۦ مِنۡ خِطۡبَةِ ٱلنِّسَآءِ …..
235. Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan  sindiran….[6].
Perempuan yang boleh dipinang dengan cara sindiran adalah perempuan yang dalam masa iddah karena ditinggal mati oleh suaminya, atau karena thalak bain, sedangkan perempuan yang dalam masa iddah thalak raj’i tidak boleh dipinang walaupun dengan cara sindiran.
      Setelah kita mencermati kebanyakan penulis, penceramah, mubaligh, lebih memfokuskan pembahasannya tentang bagaimana memilih isteri yang baik, tapi sangat jarang kita mendengar orang mengatakan “bagaimana memilih suami yang baik”.
Sebenarnya, memilih suami tak kalah pentingnya dengan memilih isteri. Bisa jadi problem keluarga terjadi akibat dari isteri salah memilih suami. Karena itu peran orang tua dominan dan sangat menentukan terutama yang berhubungan dengan kebahagiaan, keutuhan keluarga serta pendidikan anak, hal ini sangat erat kaitannya dengan latar belakang memilih pasangan.
            Tidak sedikit wanita muslimah masih merasa malu untuk menyatakan cintanya dan mengungkapkan keinginannya untuk menikah dengan seorang pria pujaan hatinya. Tidak sedikit mereka melihat dari kejauhan betapa pria pujaan hatinya menikah dengan perempuan lain. Mungkin mereka akan berkata untuk menghibur hati yang berduka biarkan sajalah memang dia bukanlah jodohku. Padahal dalam ajaran Islam tidak ada larangan  seorang perempuan untuk menemukan jodoh yang sesuai dengan pilihan hatinya. Bagi wanita muslimah yang sudah siap untuk menikah hendaknya  membekali diri dengan ilmu agama, ilmu urusan kerumahtanggaan, setelah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapat calon suami yang baik. Hemat penulis perlu ada beberapa langkah yang perlu dilaksanakan agar perempuan bisa melamar pria, yaitu;
1.     1. Istikharah.
Salah satu cara yang dilakukan adalah, apabila Allah melapangkan dada laki-laki dan perempuan untuk melakukan peminangan, maka sebaiknya melakukan shalat istikharah terlebih dahulu sebelum melakukan peminangan itu, yaitu untuk meminta taufik (pertolongan) dan kemudahan kepada Allah SWT.
Dari Jabir bin Abdullah berkata: Rasulullah SAW mengajari kami istikharah (shalat untuk meminta pilihan) dalam semua perkara sebagaimana beliau mengajari kami surat al-Qur’an, sabdanya ‘Apabila salah seorang dari kamu berkepentingan terhadap sesuatu urusan (menghadapi suatu urusan penting), maka hendaklah ia melakukan shalat dua rakaat yang bukan shalat fardhu, kemudian dia berdo’a’. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan pada-Mu dengan ilmu-Mu, dan aku memohon kemampuan kepada-Mu dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon dari sebagian karunia-Mu yang agung. Karena sesungguhnya Engkaulah yang berkuasa, sedangkan aku tidak berkuasa, Engkaulah yang Maha Mengetahui, sedangkan aku tidak mengetahui, dan Engkaulah yang Maha Mengetahui perkara-perkara ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa hal ini baik bagiku dalam agamaku dan kehidupanku serta akibat urusanku - atau dia mengucapkan urusanku sekarang dan yang akan datang – maka tentukanlah ia untukku dan mudahkanlah ia bagiku, kemudian berilah aku berkah padanya. Dan jika Engkau mengetahui bahwa hal ini jelek bagiku dalam agamaku dan kehidupanku akibat urusanku – atau ia mengatakan – urusanku sekarang dan yang akan datang – maka palingkanlah ia dariku dan palingkanlah aku darinya, dan tentukanlah untukku kebaikan dimana saja ia berada, kemudian jadikanlah aku ridha kepadanya. “Beliau bersabda, “Dan ia sebutkan kebutuhannya” (H.R. Bukhari).
2   2.   Perempuan Berhak atas Dirinya.
Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa seorang permpuan dapat menentukan siapa yang akan menjadi jodohnya, perempuan berhak atas didirnya.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:قَالَ رسولُ اللهِ ص م الثَّيْبُ اَحَقُّ بِنَفْسِهاَ مِنْ وَلِيِّهَا
وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ وَإذْنُهَا صِمَاتُهَا .وراه الجماعة إلا البخاري
Dari Abdullah bin Abbas r.a. berkata : Bersabda Rasulullah SAW. Perempuan yang telah janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan perempuan yang masih perawan diminta idzin dari dirinya dan idzinnya ialah diamnya. H.R. al-Jama’ah kecuali al-Bukhari.
                        Hadits tersebut menjelaskan bahwa perempuan berhak atas dirinya, bahkan seorang yang sudah berstatus janda dia lebih berhak atas dirinya dari pada walinya sendiri. Tentu saja sebagai perempuan Islam, maka mereka akan memilih suami yang sesuai, yang kufu dan sama-sama berlindung dibawah bendera Islam. Bila syarat-syarat tersebut tidak pula dipenuhinya – misalnya, dipilihnya jodoh seorang pezina, padahal dia keluarga baik-baik, atau dipilihnya orang kafir padahal dia keluarga Islam – wali dan yang lainnya dapat menghalangi. Hal itu bukanlah untuk merampas kemerdekaannya melainkan membatasi kemerdekaan yang disalahgunakan. Didalam hadits di atas disebutkan bahwa anak gadis perawan. Jika ia diam ketika ditanyai, adalah tanda bahwa ia telah memberi izin. Nabi mengatakan demikian karena anak perawan di zaman itu masih saja tahu malu. Aib baginya mengatakan saya “suka”.[7]
3.     3.  Wanita Menawarkan Dirinya pada Laki-laki yang Shaleh.
Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa ada seorang wanita yang melamarkan dirinya kepada Rasulullah.
Tsabit al-Buni berkata, “Aku berada di sisi Anas, dan di sebelahnya ada anak perempuannya Anas berkata, ‘Seorang wanita datang kepada Rasulullah, apakah engkau berhasrat kepadaku?’ (dan di dalam satu riwayat) wanita itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku datang hendak memberikan diriku kepadamu’). Maka putri Anas berkata, ‘Betapa sedikitnya perasaan malunya, idih, idih,’ Anas berkata, ‘Dia lebih baik dari pada engkau, dia menginginkan Nabi SAW, lalu menawarkan dirinya kepada beliau”. H.R. Bukhari. Dalam Kitab an-Nikah Bab Ardhul Mar’ah Nafsaha ‘alar Rajulish shaleh, juz 11, hlm. 79. Sebagaimana dikutip oleh Abdul Halim Abu Syuqqah dalam Tahrirul mar’ah fi Ashrir Risaalah jilid 5, hlm. 50.
Masih dalam Abdul Halim Abu Syuqqah mengatakan  sebuah cerita bagus dikemukakan oleh salah seorang teman dari al-Jazair, bahwa dia ketika berkunjung ke Mauritania, ada seorang wanita yang datang kepadanya menawarkan diri untuk kawin dengannya. Ketika dia merasa terkejut dan heran, maka wanita itu bertanya, “Apakah aku mengajak Anda untuk berbuat yang haram? Aku hanya mengajak Anda untuk kawin sesuai dengan sunnah Allah dan Rasul-Nya…” Maka berangkatlah kami ke Qadhi (pengadilan), dan terjadilah akad nikah dengan dihadiri dua orang saksi[8].
4.    4.   Meminta kepada Ayah/Wali.
Bukanlah disebut ketinggalan zaman seandainya seorang gadis meminta kepada orang tuanya  untuk   mencarikan jodoh buat anak-anaknya, terlebih lagi bagi anak-anak perempuan.
Wali dalam hal ini; ayah, saudara laki-laki, paman, anak laki-laki dan semua laki-laki yang termasuk dalam daftar wali memiliki kewajiban untuk mencarikan calon dan menikahkan perempuan-perempuan dalam perwaliannya, bila mereka alpa dalam hal ini, wajib bagi para perempuan untuk mengingatkannya. Ayah/wali biasanya lebih mampu menilai secara obyektif dalam rangka mencarikan calon suami terbaik bagi anak-anaknya. Perasaan perempuan yang dominan sering menjadi penumpul akal dan menyebabkannya mudah dipermainkan laki-laki yang memiliki niat yang melenceng. Namun, ayah/wali tidak boleh menghalangi/menolak menikahkan anak perempuannya, ketika sang anak datang membawa calonnya, tanpa alasan yang dibenarkan syar’i[9].
Seorang perempuan bukan hanya sekedar pasif dan menunggu dan menunggu saja, akan tetapi ia juga tidak disalahkan berperan aktif untuk menjemput jodohnya, hal itu bukanlah merupakan perbuatan yang hina. Kalau sudah menemukan kecookan, maka tidak ada halangan baginya untuk mengajak laki-laki tersebut menikah secara syar’i dengannya.
5.   5.   Penawaran dari Orang Tua
Dalam kitab Tahriirul Mar’ah fi Ashrir Risaalah Abdul Halim Abu Syuqqah menjelaskan tentang orang tua si wanita atau kerabatnya menawarkan kepada orang-orang yang mereka ridhai akhlak dan agamanya. Beliau mengutip hadits tentang Penawaran seseorang akan putrinya atau saudara perempuannya kepada ahli kebaikan.[10]
Dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa Umar bin Khaththab, r.a. ketika Hafshah binti Umar menjanda dari Khunais bin Khudzafah as-Sahmi - salah seorang sahabat Rasulullah SAW, yang wafat di Madinah – Umar bin Khaththab berkata, “Aku datang kepada Usman bin Affan, lalu aku tawarkan kepadanya Hafshah. Maka Usman berkata, Aku akan melihat urusanku, lalu aku berdiam selama beberapa malam, kemudian Usman datang kepadaku seraya berkata, tampak olehku bahwa pada saat-saat ini aku belum berhasrat untuk kawin. Umar berkata, lalu aku temui Abubakar ash-Shiddiq, lantas kukatakan, jika engkau mau, aku ingin mengawinkan engkau dengan Hafshah binti Umar. Maka Abubakar diam saja dan tidak menjawab sedikitpun, dan aku merebutnya setelah Usman. Maka aku berdiam selama beberapa malam, kemudian Rasulullah SAW melamarnya, lalu aku nikahkan ia dengan beliau. Setelah itu Abubakar menemuiku seraya berkata, Engkau telah menemuiku untuk melamar Hafshah kepadaku tetapi aku tidak menjawab kepadamu sedikitpun. Umar berkata,  Benar, Abubakar berkata, tidak ada yang menghalangiku untuk menjawab tawaranmu itu, melainkan karena aku telah mengetahui bahwa Rasulullah SAW pernah menyebut-nyebutnya (Hafshah), maka aku tidak ingn membukakan rahasia Rasulullah SAW dan seandainya Rasulullah SAW, meninggalkannya, niscaya aku menerimanya. (HR.al-Bukhari).
Pada zaman global seperti sekarang ini kita mendapati pemilihan pasangan hidup banyak dipengaruhi oleh faktor ekonomi (kekayaan) yang dimiliki oleh calon suami atau isteri. Terutama di kalangan wanita, mereka begitu memperhatikan aspek kekayaan, pendidikan, jabatan, keturunan atau ketampanan calon suami, hal itu adalah wajar. Tapi sayang, mereka kurang memperhatikan kualitas agama calon suaminya. Ternyata di kalangan pemudapun sama saja seperti yang terjadi pada wanita, lebih banyak memperhatikan aspek ekonomi (kekayaan), kecantikan dan keturunan ketimbang aspek kualitas agamanya.
Pernikahan yang tidak berdasarkan pada agama, akan berdampak pada keretakan rumah tangga yang selanjutnya memicu pada percereian.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badilag (Badan Peradilan Agama) Mahkamah Agung RI. Alasan orang untuk bercerei yaitu, “tak bisa akur sebesar 48,1%, tinggalkan pasangan 22,2%, ekonomi 15,3 %, Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 4,8 %, pasangan pemabuk 2,6%, pasangan penjudi 1,9 %, poligami 1,1 %, cacat badan 1,1 %, dihukum penjara 0,6 %, zina 0,4 %, kawin paksa 0,4 %, murtad 0,3 % dan lain-lain 0,4 %.” [11].
Mengarungi kehidupan, ibarat mengarungi samudera lautan. Terkadang lautannya tenang, terkadang tanpa diduga datang ombak besar. Bagi orang yang paham situasi dan kondisi berumah tangga, tentu sudah tahu mengatasi berbagai gelombang kehidupan tersebut. Karena itu dalam mengatur kehidupan rumah tangga penuh dengan berbagai keunikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Ahmad Mubarok bahwa;
Manusia sebagai individu adalah unik. Rumah tangga adalah mempersatukan dua keunikan, keunikan suami dan keunikan isteri, jika keunikan suami dan keunikan isteri menjadi sinergi, maka rumah tangga itu mampu mempersepsi stimulus secara proposional. Tetapi jika keunikan itu bertolak belakang, maka segala yang pernik-pernik dipresepsi menjadi prinsipil, dan meresponnya juga dengan sikap prinsipil berpijak pada keunikan masing-masing. Jika keadaan sudah demikian maka sakinah akan menjauh dari rumah tangga, dan sebagai gantinya adalah kesalahfahaman yang berkesinambungan. Rumah tangga tidak lagi menjadi “surga” (baiti jannati, my house is my castil, tetapi menjadi “neraka”.[12]
Wallahu a’lam.
Karawang, 11 Oktober 2016



Daftar Pustaka
                                                                                                                                           
Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahriirul Mar’ah fi Ashrir Risaalah, Penerj. As’ad Yasin, Kebebasan Wanita, Jakarta, Gema Insani Press, 2015.

Ahmad Mubarok, Psikologi Keluarga, Malang, Madani, 2016

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 2006.

Dian Erika Nugraha dan Umar Mukhtar, Republika: Lonjakan Perceraian Ancam Kualitas Anak, Rabu 25 Oktober 2016,

Erma Pawitasari, Muslimah Sukses tanpa Stres, Jakarta, Gema Insani Press, 2015.

Hamka, Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan, Jakarta, Gema Insani Press, 2015

_______ Ghirah Cemburu Karena Allah, Jakarta, Gema Insani Press, 2015.

Nashir al-Umar, Silsilah al Buyut al-Muthmainah, Alih Bahasa, Ahmad Zubaidi, Keluarga Modern tapi Sakinah, Solo, Aqwam, 2013.

Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, Jakarta, GIP, 2011.

























مشكور منصور


[1] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, Jakarta, GIP, 2011, hlm. 20-21.
[2] Hamka, Ghirah Cemburu Karena Allah, Jakarta, Gema Insani Press, 2015, hlm. 111..
[3] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, Jakarta, GIP.  2011, hlm.. 23.
[4] Nashir al-Umar, Silsilah al Buyut al-Muthmainah, Alih Bahasa, Ahmad Zubaidi, Keluarga Modern tapi Sakinah, Solo, Aqwam, 2013, hlm. 28.
[5] Nashir al-Umar, Silsilah al-Buyut al-Muthmainah, Alih Bahasa, Ahmad Zubaidi, Keluarga Modern Tapi Sakinah, Solo, Aqwam, 2013, hlm. 25.
[6] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 2006, hlm. 48.
[7] Hamka, Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan, Jakarta, Gema Insani Press, 2015, hlm. 130-131
[8] Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahriirul Mar’ah fi Ashrir Risaalah, Penerj. As’ad Yasin, Kebebasan Wanita, Jakarta, Gema Insani Press, 2015, hlm. 51.
[9] Erma Pawitasari, Muslimah Sukses tanpa Stres, Jakarta, Gema Insani Press, 2015, hlm. 232.
[10] Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahriirul Mar’ah fi Ashrir Risaalah, Penerj. As’ad Yasin, Kebebasan Wanita, Jakarta, Gema Insani Press, 2015, hlm. 46.
[11] Dian Erika Nugraha dan Umar Mukhtar, Republika: Lonjakan Perceraian Ancam Kualitas Anak, Rabu 25 Oktober 2016, hlm. 1.
[12] Ahmad Mubarok, Psikologi Keluarga, Malang, Madani, 2016, hlm, 140.
Share:

Postingan Populer

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.