TALAK, PINTU DARURAT




TALAK, PINTU DARURAT
OLEH : Masykur H Mansyur (IAIN Syekh Nurjati Cirebon DPK Unsika Karawang)

A.  Pendahuluan
Talak atau cerei merupakan jalan terakhir akibat kemelut rumah tangga yang tak ada ujungnya, yang jika dipertahankan rumah tangga tersebut justru akan membahayakan kedua belah pihak. Memperhatikan kondisi masyarakat kita akhir-akhir ini sepertinya talak itu begitu gampang terjadi. Banyak kita saksikan begitu mudah pasangan suami isteri mengajukan percereian gara-gara hal sepele. Sebaiknya para suami isteri mempertimbangkan dengan cermat resiko dari akibat percereian tersebut, jangan hanya sekedar menuruti perasaan hawa nafsu belaka, tanpa mempertimbangkan akibat buruk terhadap anak-anaknya dan keluarga besarnya. Belum lagi pihak isteri menyandang status janda dan menanggung beban yang lebih berat dalam kehidupan sosialnya ditengah masyarakat.
Percereian di tengah masyarakat seolah-olah merupakan hal yang lumrah, bukan lagi menjadi tabu. Berita-berita percereian artis menjadi liputan khusus di berbagai media, dan di televisi diputar secara berulang-ulang, sehingga membentuk opini dari masyarakat bahwa percereian itu bukan sesuatu yang dilarang atau dibenci.
Pada hal sebenarnya talak adalah pintu darurat untuk menjadi jalan keluar bagi berbagai persoalan keluarga. Dan disyaratkan untuk memenuhi kebutuhan dan dibenci untuk dilakukan jika tanpa adanya kebutuhan yang dibenarkan syari’at.
                        Biasanya talak ini terjadi karena adanya perselisihan antara suami dan isteri dalam mempertahankan egonya masing-masing. Perselisihan tersebut membawa dampak akan timbulnya kebencian antara keduanya, bahkan terhadap kaum kerabat mereka, sehingga tidak ada jalan lain, walupun sudah ada usaha perdamaian, tapi tetap tidak dapat dipertahankan lagi, maka terjadilah talak atau percereian itu.



B.  Pengertian Talak.
Talak secara bahasa diartikan sebagai “melepaskan ikatan”. Yang dimaksud adalah melepaskan ikatan pernikahan.
Prof. Wahbah az-Zuhaili menejelaskan talak menurut bahasa artinya lepasnya ikatan dan pembebasan. Termasuk di antara kalimat talak adalah naaqatun thaaliqun, maksudnya dilepaskan dengan tanpa kekangan. Juga kalimat asiirun muththaliqun, yang artinya terlepas ikatannya dan terbebas darinya. Akan tetapi, tradisi mengkhususkan talak dengan pengertian lepasnya secara maknawi bagi si perempuan. Dan dengan pengertian bebas pada terlepasnya ikatan secara indrawi pada orang yang selain perempuan[1].
        Menurut syari’at pengertiannya adalah terlepasnya ikatan pernikahan atau terlepasnya pernikahan dengan lafal talak dan yang sejenisnya. Atau mengangkat ikatan pernikahan secara langsung atau ditangguhkan dengan lafal yang dikhususkan. Terlepasnya ikatan perkawinan secara langsung berbentuk talak baa’in. Ditangguhkan maksudnya setelah selesai masa iddah yang berbentuk talak raj’i.[2].
Dengan demikian bahwa esensi dari talak adalah pernyataan atau sikap atau perbuatan untuk melepaskan ikatan pernikahan. Bisa juga dikatakan sebagai putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri dalam waktu tertentu atau selamanya.

C.  Upaya Mempertahankan Pernikahan
Semua orang sepakat bahwa tidak ada yang mengangap ringan sebuah perceraian  dan tidak setiap pernikahan dapat atau harus diselamatkan. Kondisi setiap orang berbeda, hanya orang bersangkutan yang tahu persis situasi rumah tangga serta hubungan dengan pasangan. Faktor yang paling penting adalah untuk tidak membuat keputusan tanpa pertimbangan.
Tidak ada agama di dunia ini yang menganggap talak itu positif. Pasti semua agama memandang negatif perceraian. Dalam Islam. Nabi saw mengingatkan kita bahwa perceraian lebih banyak menyebabkan kesengsaraan. Al-Qur’an juga banyak menguraikan dampak perceraian ini. Al-Qur’an dan hadis merekomendasikan kepada pasangan bermasalah untuk selalu mencari jalan keluar lain di dalam menyelesaikan persoalan rumah tangga tanpa harus melalui pintu darurat perceraian. Al-Qur’an lebih teknis menasihatkan kepada pasangan bermasalah untuk mendatangkan penasihat (hakam) dari pihak ketiga agar mempertahankan keutuhan rumah tangga. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Nisa’ 4:[35].

وَإِنۡ خِفۡتُمۡ شِقَاقَ بَيۡنِهِمَا فَٱبۡعَثُواْ حَكَمٗا مِّنۡ أَهۡلِهِۦ وَحَكَمٗا مِّنۡ أَهۡلِهَآ إِن يُرِيدَآ
إِصۡلَٰحٗا يُوَفِّقِ ٱللَّهُ بَيۡنَهُمَآۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرٗا ٣٥
35. Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Adanya hakam dari kedua belah pihak diharapkan bisa menyelesaikan berbagai problematika yang terjadi dalam suatu rumah tangga. Para suami diharapkan untuk tetap menahan isterinya dalam ikatan pernikahan, walaupun mungkin ada sedikit perasaan tidak suka. Karena dibalik semua itu ada suatu kebaikan yang tidak kita ketahui. Bisa jadi dari perasaan tidak suka lama kelamaan hilang dan berganti dengan kemesraan dan kecintaan yang semakin dalam.
Adapun upaya-upaya yang dilakukan oleh keluarga muslim dalam mempertahankan rumah tangga dari perceraian diantaranya adalah sebagai berikut;
1.      Dasar Keyakinan dalam Keluarga
2.      Adab Suami kepada Isteri
3.      Adab Isteri kepada Suami
4.      Memposisikan Kepemimpinan dalam Keluarga
5.      Isteri Tidak Tergesa-gesa Minta Cerei

Dasar Keyakinan dalam Keluarga
       Islam sebagai agama dengan berpedoman pada al-Qur’an dan hadits telah menempatkan keluarga pada posisi dan kedudukan yang tinggi dan strategis dalam membina pribadi dan masyarakat. Sehingga baik buruknya kepribadian seseorang sangat tergantung pada pembinaan dalam keluarga. Pembinaan keluarga dalam Islam berdasarkan cinta kasih (mawaddah wa rahmah). Al-Qur’an menjelaskan dala surat al-Rum 30:[21].
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم
مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢١
21. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
       Jalinan cinta kasih atas dasar agama merupaka sumber utama kebahagiaan keluarga sehingga memungkinkan setiap anggota keluarga mengembangkan kepribadiannya secara utuh. Karena itu dalam ajaran Islam sekufu’ atau kesamaan agama dan keyakinan dalam pernikahan muslim merupakan hal yang mutlak, yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena dengan faktor kesamaana agama dan keyakinan memberikan pengalaman dan pendidikan keagamaan yang baik pada seluruh anggota keluarga.
Adab Suami kepada Isteri
       Dalam al-Qur’an ada ayat yang menjelaskan hubungan yang baik antara suami dan isteri yang disebut dengan mu’aasyarah bi al-ma’ruf, sebagaimana surat al-Nisa’4:[19]
…..وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ …..
Dan bergaullah dengan mereka secara patut.
Yang dimaksud di sini adalah hubungan antara suami istri itu tidak hanya sekedar hubungan materi duniawi, atau hanya sekedar hubungan pemuas nafsu belaka, namun lebih dari itu, hubungannya yang diikat dengan pertalian yang kuat. Sekiranya hubungan itu baik maka akan terus menyatu sampai kehidupan akhirat setelah kematian yang memisahkan mereka. 
Al-Ghazali menjelaskan hendaklah sang suami menggauli isterinya dengan baik yaitu mu’aasyarah bi al-ma’ruf, dan lemah lembut dalam tutur kata. Tampakkan cinta dan kasih sayang kepada sang isteri. Tampakkan pula kegembiraan saat berkumpul dan lupakan kesalahan-kesalahan yang telah lalu ataupun kekeliruan yang akan datang.
Jangan menghardik isteri bila dia melakukan kesalahan. Jagalah kehormatannya dan jangan banyak mendebatnya. Bersikaplah murah hati ketika memberinya nafakah, jangan bersikap pelit kepadanya. Juga jangan diabaikan, berbuat baiklah kepada keluarga atau kerabatnya. Hendaklah menyajikan yang baik-baik kepadanya, dan hendaklah mempunyai rasa cemburu [3]
Adab Isteri kepada Suami
       Seorang wanita bisa saja membuat suasana rumah seindah taman surga, sehingga setiap saat suami betah tinggal di rumah. Disisinya ia mendapatkan ketentraman dan kedamaian. Tatkala berada di dalamnya, maka yang tampak bukan lagi kegaulan dan kesedihan, akan tetapi adalah kesegaran dan kelembutan isteri. Untuk melalukan peran yang demkian indah ini ada beberapa adab isteri kepada suami. Adapun adab isteri kepada suami penulis salinkan pandangan Imam al-Ghazali sebagai berikut;
       Hendaklah sang isteri selalu merasa malu kepada suaminya. Jangan banyak membantah dan mendebat. Diam, dengarkan serta perhatikanlah apabila suami sedang berbicara. Selalulah menjaga diri, harta dan anak-anaknya apabila suami sedang bepergian. Jangan berkhianat dalam segala hal terutama dalam soal harta. Usahakan badan selalu segar dan harum. Jaglah mulut jangan sampai berbau tak sedap serta berpakainlah yang bersih. Tampakkan rasa puas dan kesehajaan. Bersikaplah lemah lembut dan berhiaslah secara kontinu. Hormati dan muliakan keluarga dan kerabatnya, pandanglah keadaannya dengan penuh keutamaan. Terimalah apa-apa yang dikerjakannya dengan rasa terima kasih. Tampakkan kecintaan anda padanya saat sedang berdekatan. Hendaknya tampakkan pula kegembiraan anda dengan menghilangkan rasa kerinduan saat melihat atau bertemu dengannya. Semarakkanlah suasana bila saat bersama [4].
Memposisikan Kepemimpinan dalam Keluarga
       Mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin di ranah publik, yang berhak adalah laki-laki. Kaum lelaki adalah pemimpin kaum wanita.
       Dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ 4:[34] Allah berfirman.

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ …..

34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. …..

       Ayat ini menjelaskan bahwa laki-laki yang jadi pemimpin. Memang kenyataannya bahwa lelakilah yang jadi pemimpin. Kata qawwamuun adalah pemimpin, kata al-Rijaalu qawwamuuna ‘ala al-nisa’ dalam terjemahan al-Qur’an Departemen Agama RI diterjemahkan “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita”. Kenapa harus laki-laki yang jadi pemimpin ? menurut al-Zamakhsyari (wafat 538 H) karena kaum lelaki punya kelebihan. Kelebihan ini terletak pada akal, keteguhan hati, kemauan keras, kekuatan fisik dan keberanian atau ketangkasan. Senada dengan al-Zamakhsyari, al-Aaluusii (w.1270) mengatakan ada dua kelebihan kaum pria yaitu wahbii dan kasabii. Kelebihan pertama didapat dengan sendirinya berupa pemberian dari Tuhan, sedangkan kelebihan kedua digapai dengan jalan usaha [5].
Yusuf Qardhawi, dikatakan suami adalah “pemimpin dan pembimbing keluarga, dikarenakan karakter ciptaannya, kesiapannya, dan posisinya dalam kehidupan, ditambah dengan keharusannya membayar mahar dan menafkahi isteri, maka tidak halal bagi seorang perempuan keluar dari ketaatan kepadanya dan merongrong kekuasaannya. Jika itu terjadi rusaklah harmoni dan olenglah rumah tangga, bahkan mungkin tenggelam karena tidak ada nakhodanya”[6]
Walaupun ada yang tidak setuju tentang hal itu. “Menjadikan ayat di atas sebagai dasar pelarangan kepemiminan wanita ditolak oleh kaum feminis, karena interpretasi tersebut mengabaikan aspek historis dan analisis bahasa secara mendalam” [7].
       Dalam kehidupan rumah tangga, Islam memandang setiap anggota keluarga sebagai pemimpin dalam kedudukannya masing-masing. Rasul bersabda “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya tentang kepemimpinannya, suami adalah pemimpin keluarga, isteri adalah pemimpin di dalam rumah suaminya, pembantu adalah pemimpin terhadap harta majikannya; semua kamu adalah pemimpin dan masing-masing akan ditanya akan kepemimpinannya”.
Kepemimpinan bukanlah untuk dipertentangkan dalam arti yang satu lebih tinggi dari yang lainnya, akan tetapi kepemimpinanitu perlu sinergitas dan dikerjasamakan. Tapi yang terpenting adalah tapuk kepemimpinan adalah terdapat pada laki-laki.
Prof. Hamka mengatakan “Betapapun modern rumah tangga, keputusan terakhir tetap pada laki-laki. Di dalam rumah tidak mungkin ada dua kekuasaan yang sama, hak dan sama kewajiban, mesti ada pimpinan. Pimpinan itu, menurut kejadian jasmani dan ruhani  manusia, tidak lain adalah laki-laki. Bertambah kecerdasan pikiran manusia, bertambah dia menyetuji hal ini. Maka atas dasar demikianlah tegak hokum agama sehingga perkabaran bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, bukan saja kabar dan berita kenyataan, tapi telah bersifat menjadi perintah, sebab demikianlah irama hidup”[8].

Isteri Tidak tergesa-gesa Minta Cerei
       Janganlah para isteri tergesa-gesa untuk meminta cerei pada suaminya tanpa alasan yang betul-betul sesuai syari’ah. Hak yang diberikan kepada isteri mengajukan talak suaminya dalam Islam disebut khulu’. Seorang isteri bisa saja membenci suaminya, dan membenci hidup bersama dengannya. Banyak faktor yang menyebabkan isteri mau berpisah dengan suaminya; misalnya karena fisik, akhlak, agama, kesehatan, akibat usia sudah tua, kelemahan atau masalah lain yang sejenis.
        Abdurrazak meriwayatkan dri Ma’mar, dia berkata telah sampai kabar kepadaku bahwa dia (Habibah) berkata, “Wahai Rasulullah, aku mempunyai wajah yang cantik sebagaimana yang engkau lihat, sedangkan Tsabit adalah seorang yang buruk rupanya”.Dan dalam satu riwayat dari Ibnu Abbas, ‘Pertama kali khulu’ yang terjadi di dalam Islam adalah isteri Tsabit bin Qais, dia datang kepada Nabi saw. seraya berkata “Wahai Rasulullah, kepalaku tidak dapat bertemu dengan kepala Tsabit selama-lamanya. Aku pernah menyingkap kemah, maka aku melihat dia sedang bersiap-siap, ternyata dia sangat hitam kulitnya, sangat pendek tubuhnya, dan sangat buruk wajahnya. ‘Beliau bertanya, ‘Apakah kau mau mengembalikan kebunnya kepadanya?, ‘Dia menjawab, ‘Ya, dan kalau dia mau akupun mau menambahnya. ‘Lalu beliaupun memisahkan antara keduanya”.[9]

D.  Halal Tapi Dibenci Allah

Talak adalah perbuatan yang halal, tapi Allah memebencinya, sebagaimana hadits Ibnu Umar, riwayat Abu Daud dan ibnu Majah

قال رسول الله صلي الله عليه وسلم : اَبْغَضُ الحَلَالِ اِلَي اللَّهِ عَزّ و جَلَّ الطَّلاَقُ

Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah azza wajalla adalah talak.

      Allah SWT telah menetapkan pernikahan sebagai ikatan suci agar manusia mendapatkan kedamaian, ketentraman dan cinta kasih. Dengan ikatan ijab dan qabul terjadilah perubahan besar seperti yang tadinya haram menjadi halal, yang maksiat menjadi ibadah, yang jijik menjadi suci, kebebasan menjadi tanggung jawab, dari nafsu menjadi kasih sayang. Itulah sebabnya ikatan perakawinan sebagai perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalizan). Al-Qur’an surat al-Nisa’ 4:[21] Allah berfirman

وَكَيۡفَ تَأۡخُذُونَهُۥ وَقَدۡ أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ وَأَخَذۡنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظٗا ٢١

21. Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
       
Idealnya perkawinan hanya bisa tercerei oleh maut yang memisahkannya. Siapapun di dunia ini mestinya menginginkan pernikahannya itu langgeng se-hidup se-mati.
Sayyid Rasyid Ridha menyalinkan syair Arab, tentang bagaimana gambaran suasana percereian yang amat menyedihkan, sebagaimana ditulis oleh Hamka dalam Tafsir al-Azhar sebagai berikut;
Telah pernah kita selapik seketiduran berdua, tak ada orang ketika diantara kita. Laksana dua ekor burung merpati, sama bertengger, atau laksana dua dahan berpalun. Apakah sesudah pertemuan yang begitu mesra, dan kasih telah tertumpah keseluruhannya. Apakah pantas, engkau tinggalkan daku seorang diri, begini sunyi, begini sepi…![10]
      Pemicu percereian terkadang terjadi karena masalah sepele, seperti salah paham, kurang komunikasi, kurang perhatian, cemburu, rasa curiga satu sama lain atau provokasi pihak ketiga. Seolah-olah satu-satunya solusi adalah cerei. Rasulullah mengajarkan kita bahwa percereian  tanpa sebab yang dibolehkan syar’i adalah haram sebagaimana hadits dari Tsauban riwayat Imam yang lima selain Nasa’i.
عن ثَوْبانَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صلّي اللّه عليه وسلّم أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا
الطّلاَقَ فِي غَيْرِ مَابأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ (رواه الخَمْسَةُ).

Bersumber dari Syauban, ia berkata: Rasulullah saw, bersabda: ‘Perempuan mana saja yang meminta talak kepada suaminya tanpa ada sebab yang membahayakan, maka haram baginya aroma surga’ (HR. Imam yang Lima selain Nasaiy).[11]
      Disinilah letak kehati-hatian dalam memutuskan percerian antara suami dan isteri. Apalagi dengan alasan semata-mata karena perubahan perasaan terhadap pasangan, kebencian yang datangnya tiba-tiba, informasi yang sepihak, atau semata karena ketidak sukaan terhadap sebagian prilaku masing-masing.

      “Yang mengejutkan, ternyata angka gugat cerei atau permintaan cerei dari isteri itu lebih banyak dari pada suami. Hal itu antara lain dipengaruhi oleh faham emansipasi, persamaan gender, teknologi, atau banyak wanita yang merasa lebih berdaya dengan kariernya”[12]
      Disamping itu percereian di Indonesia banyak terjadi karena beberapa faktor salah satunya karena pernikahan yang tidak disertai dengan dasar agama. Faktor pemicu lainnya adalah sebagaimana temuan Badilag (Badan Peradilan Agama) Mahkamah Agung RI. Alasan orang untuk bercerei yaitu, “tak bisa akur sebesar 48,1%, tinggalkan pasangan 22,2%, ekonomi 15,3 %, Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 4,8 %, pasangan pemabuk 2,6%, pasangan penjudi 1,9 %, poligami 1,1 %, cacat badan 1,1 %, dihukum penjara 0,6 %, zina 0,4 %, kawin paksa 0,4 %, murtad 0,3 % dan lain-lain 0,4 %.”[13].

      Kalau sudah demikian adanya usaha dan pendekatan untuk mempersatukan kembali gagal, barulah diperbolehkan bagi pasangan suami isteri menempuh jalan terakhir yang disyari’atkan Islam, sebagai respon atas realita, jawaban terhadap kondisi darurat, dan pemecahan terhadap permasalahan yang hanya bisa diselesaikan dengan perpisahan secara baik-baik.
      Yang dimaksud dengan ungkapan talak merupakan perkara halal yang dibenci Allah yakni “mengingatkan kita bahwa talak adalah ke
ringanan yang disyari’tkan karena kondisi darurat. Yakni ketika hubungan telah retak, suami isteri sudah sama-sama tidak respek dan tidak suka, sehingga tidak mungkin lagi menegakkan hukum Allah swt dan hak-hak suami isteri”[14].
      Orang mengatakan, “Kalau sudah tidak bertemu, ya berpisah saja”. Allah berfirman dalam surat al-Nisa’ 4:[130]
وَإِن يَتَفَرَّقَا يُغۡنِ ٱللَّهُ كُلّٗا مِّن سَعَتِهِۦۚ وَكَانَ ٱللَّهُ وَٰسِعًا حَكِيمٗا ١٣٠

130. Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.
      Itulah sebabnya bagi pasangan suami isteri sebaiknya mencari jalan damai sebelum terjadi percereian, sekiranya tidak ditemukan jalan damai, maka kalau hendak cerei, cereilah dengan baik sebagaimana ayat al-Baqarah 2:[229]
…..فَإِمۡسَاكُۢ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ تَسۡرِيحُۢ بِإِحۡسَٰنٖۗ …..

…..Dipegang dengan cara yang ma´ruf atau menceraikan dengan cara yang baik…
     
Demikian halnya, tidaklah Allah memaksa supaya diteruskan juga pergaulan itu. Bila terpaksa akhirnya bercerei juga, bercereilah dengan baik. Asalkan bercerei dengan baik, di dalam ayat tersebut Allah menjamin akan mencukupkan karunia-Nya bagi masing-masing mereka.

Wallahu a’lam bi al-shawaab.





Daftar Pustaka


Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar’ah fi Ashr al-Risalah, terj. As’ad Yasin, Kebebasan Wanita, Jakarta, Gema Insani Press, Cet. III, Jilid V, 2000.

Al-Ghazali, Adab fi al-din, terj. A.M.Basalamah, Adab dalam Agama, Jakarta, Gema Insani Press, Cet. IV, 2000.  

Al-Imam Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqaa al-Akhbaar min Ahaadiits

Tim Hidayatullah, Talak Pintu Darurat, Buletin Hidayatullah, Edisi 06 (XXIX) Oktober 2017.

Dian Erika Nugraha dan Umar Mukhtar, Republika: Lonjakan Perceraian Ancam Kualitas Anak,  Rabu 25 Oktober 2016.     

Hamka, Tafsir al-Azhar,  Jakarta, Gema Insani Press, Jilid II,  2015.

Sayyid al-Akhyaar, terj. Adib Bisri Musthafa dkk, Semarang, CV As-Syifa, Jilid VII,  1994.

Sofyan A.P.KAU, dan Zulkarnain Suleman, Fikih Feminis Menghadirkan Teks Tandingan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet I, 2014.

Tim Hidayatullah, Talak Pintu Darurat, Buletin Hidayatullah, Edisi 06 (XXIX) Oktober 2017.

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, terj. Abdu Hayyi al-Kattani dkk, Jakarta, Gema Insani Press,  Cet. II, Jilid 9,  2011.

Yusuf Qardhawi, al-Halal wa al- Haram fi al-Islam, terj.  Wahid Ahmadi, dkk, Halah Haram dalam Islam, Solo, Era Intermedia, Cet. III, 2003, hlm, 289-290.
مشكور منصور


[1] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, terj. Abdu Hayyi al-Kattani dkk, Jakarta, Gema Insani Press,  Cet. II, Jilid 9,  2011, hlm. 318.
[2] ibid
[3] Al-Ghazali, Adab fi al-din, terj. A.M.Basalamah, Adab dalam Agama, Jakarta, Gema Insani Press, Cet. IV, 2000, hlm. 55
[4] IIbid
[5] Sofyan A.P.KAU, dan Zulkarnain Suleman, Fikih Feminis Menghadirkan Teks Tandingan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet I, 2014, hlm. 128.
[6] Yusuf Qardhawi, al-Halal wa al- Haram fi al-Islam, terj.  Wahid Ahmadi, dkk, Halah Haram dalam Islam, Solo, Era Intermedia, Cet. III, 2003, hlm, 289-290.
[7] Sofyan A.P.KAU, dan Zulkarnain Suleman, Fikih Feminis Menghadirkan Teks Tandingan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet I, 2014, hlm. 128
[8] Hamka, Tafsir al-Azhar,  Jakarta, Gema Insani Press, Jilid II,  2015, hlm 279.
[9] Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar’ah fi Ashr al-Risalah, terj. As’ad Yasin, Kebebasan Wanita, Jakarta, Gema Insani Press, Cet. III, Jilid V, 2000, hlm. 376.
[10] Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 2, hlm. 234-235.
[11] Al-Imam Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqaa al-Akhbaar min Ahaadiits Sayyid al-Akhyaar, ter. Adib Bisri Musthafa dkk, Semarang, CV As-Syifa, Jilid VII,  1994, hlm. 2.
[12] Tim Hidayatullah, Talak Pintu Darurat, Buletin Hidayatullah, Edisi 06 (XXIX) Oktober 2017, hlm. 69.
[13] Dian Erika Nugraha dan Umar Mukhtar, Republika: Lonjakan Perceraian Ancam Kualitas Anak, Rabu 25 Oktober 2016, hlm. 1.
[14] Yusuf Qardhawi, Al-Haram wa al_halal fi al-Islam, hlm. 293.




Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Populer

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.