PENDIDIKAN DALAM RUMAH TANGGA ISLAMI BERTEMU DENGAN MANTAN SUAMI




Oleh: Masykur H Mansyur
Fakultas. Agama Islam
 Unsika Karawang

Setiap ada acara pernikahan sudah menjadi kebiasaan untuk mendo’akan kedua mempelai dengan do’a yang sangat terkenal ditelinga kita, yaitu do’a semoga menjadi keluarga syakinah, mawadah wa rahmah. Maksudnya supaya menjadi keluarga yang sejahtera, tentram penuh cinta dan kasih sayang. Mawaddatan wa rahmatan adalah cinta dan kasih sayang, yaitu cinta, kasih sayang dan kerinduan seorang laki-laki kepada seorang perempuan, dan seorang perempuan kepada laki-laki. Sudah menjadi kewajaran bagi tiap laki-laki yang sehat dan perempuan yang sehat untuk mencari teman hidup yang disertai dengan keinginan menumpahkan rasa kasih sayang yang dilanjutkan dengan pernikahan yang suci.
Nikah sebagaimana yang umumnya kita pahami adalah suatu akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. Nikah, disamping untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, akan tetapi juga dapat dipandang sebagai suatu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Ikatan pernikahan adalah ikatan yang teguh dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami dan isteri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga besar. Sehingga mereka menjadi satu dalam berbagai urusan tolong menolong dalam kebaikan dan mencegah kejahatan. Selain itu dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.

            Nikah mempunyai faedah, yaitu untuk menjaga dan memelihara perempuan yang mempunyai sifat lemah lembut, sebab seorang perempuan, kalau sudah menikah maka nafkahnya (biaya hidupnya) menjadi tanggung jawab suaminya. Pernikahan juga berguna untuk memelihara anak cucu (keturunan) sebab kalau tidak dengan nikah, tentulah anak tidak ketahuan siapa yang akan mengurusnya, serta siapa yang bertanggung jawab atasnya. Nikah juga dipandang seabagai kemaslahatan umum, sebab kalau tidak ada pernikahan, tentu manusia akan memperturutkan sifat seperti yang ada pada binatang, dan dengan sifat itu akan timbul perselisihan, bencana dan permusuhan antara sesamanya.
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa “nikah itu merupakan sunah yang telah berlaku dan merupakan akhlak para Nabi. Nikah itu mempunyai lima faedah yaitu 1) mendapatkan anak, 2). mengendurkan syahwat, 3) menjadikan teraturnya rumah tangga, 4) memperbanyak keluarga, dan 5) mengendalikan nafsu[1].

Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita seabagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[2]
            Apabila pergaulan kedua suami isteri tidak dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka selanjutnya akan mengakibatkan berpisahnya antara kedua keluarga. Karena tidak adanya kesepakatan antara keduanya. Akibat dari perselisihan tersebut terus berkelanjutan yang akhirnya menimbulkan permusuhan, mananam bibit-bibit kebencian antara keduanya atau terhadap sanak famili dan kerabat mereka, sehingga tidak ada jalan lain , sedangkan usaha perdamaian sudah dilakukan tapi tetap tidak bisa disambung lagi, maka dengan keadilan Allah SWT, dibuka-Nya jalan keluar dari segala kesukaran itu, yaitu thalak (percereian).
Menurut hukum asalnya thalak itu hukumnya makruh, dan perkara halal yang dibenci oleh Allah ialah thalak. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إليَ اللّهِ الطَّلاَقُ رواه أبوداود وابن ماجَه.

Dari Ibnu Umar, ia berkata: bahwa Rasulullah SAW telah bersabda sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah thalak, H.R. Abu Dawud dan Ibnu Maajah.
            Syeikh Abdul Aziz Abdus-Sattar dalam M. Quraish Shihab, ada seorang yang datang kepada al-Hasan al-Bashri – seorang tabi’iy besar - untuk meminta pandangannya, dia berkata:  “Ada dua orang yang datang melamar putriku, siapa yang kuterima?, terimalah yang paling baik agamanya, karena jika ia senang kepada isterinya, pasti ia menghormati (memelihara) - nya; sedangkan bila ia membencinya, ia tidak akan menganiayanya, jawab al-Hasan”.
Seorang yang lain pernah mengeluh kepada Umar ibn al-Khaththab bahwa cintanya kepada isterinya telah memudar dan ia bermaksud mencereikannya. ‘Umar menasihati, ”sesungguh jelek (niatmu). Apakah semua rumah tangga (hanya dapat) terbina dengan cinta? Dimana watak dan janjimu kepada Allah? Dimana pula rasa malumu kepadanya? Bukankah kamu sebagai sepasang suami isteri, telah saling bercampur (menyampaikan rahasia) dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat?”[3].

            Memang al-Qur’an menegaskan dalam berbagai masalah atau pbrolema kehidupan rumah tangga agar tetap bersabar, sebab boleh jadi apa yang kita tidak disenangi terhadap mereka, tetapi Allah menjadikan dibalik itu mengandung banyak kebaikan. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ 4 [19].


…..فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡ‍ٔٗا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا
….. bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

                Ada satu masalah yang paling ditakutkan oleh setiap orang yang sudah berumah tangga atau orang yang sudah  menikah yaitu bercerei atau thalak. Percereian bisa saja terjadi karena berbagai alasan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pada pasal 19 disebutkan bahwa percereian terjadi karena beragai alasan sebagai berikut:
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lainnya selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain, dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
e.       Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f.       Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan  dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.[4]
            Memperhatikan kondisi ril masyarakat kita bahwa orang bercerei disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya;
Faktor ekonomi yang menjadi penyebab terbanyak terjadinya percereian. Kebutuhan ekonomi memicu banyak perempuan yang bekerja di luar negeri. Di sisi lain, suaminya tidak bekerja dan hanya tinggal di rumah ternyata hanya bisa menghabiskan uang kiriman dari isterinya. Hal tersebut akhirnya menimbulkan perselisihan yang tak kunjung usai. Selain faktor ekonomi, pernikahan dini juga menjadi satu diantara penyebab terjadinya percereian seperti yang terjadi di Indramayu demikian Sodikin Wakil Panitera PA. Di Malang menurut keterangan Widodo Suparjianto Panitera Muda PA Kabupaten Malang, juga faktor ekonomi yang menjadi pemicunya, isteri mengajukan gugatan karena suami tak bisa menafkahi. Di Medan Sumatera Utara menurut Syarwani Panitera Muda Hukum Pengadilan Tinggi Agama, kebanyakan yang mengajukan cerei adalah cerei gugatan para isteri. Kebanyakannya adalah usia muda 30 –an tahun. Di Surakarta menurut Mila Edyun Safitri Pegawai Devisi Data dan Informasi Panitera Muda Hukum PA Surakarta mengatakan; hilangnya rasa taggung jawab terhadap pasangan dan keluarga menjadi alasan paling banyak digunakan pasangan suami isteri untuk memutuskan bercerei, pudarnya keharmonisan, gangguan pihak ketiga dan krisis akhlak. Contoh pada krisis akhlak itu suaminya sering mabuk lalu isterinya mengajukan gugatan.[5]
Secara nasional setidaknya ada 13 (tiga belas) alasan mengapa orang  ingin melaksanakan percereian. Sebagaimana dilansir oleh data dari Badilag (Badan Peradilan Agama) Mahkamah Agung RI. Adapun alasan dimaksud sebagaimana data sebagai berikut;
1. Tak Bisa Akur: 22.590 (48,1 persen)
2. Tinggalkan Pasangan: 10.412 (22,2 persen)
3. Ekonomi: 7.204 (15,3 persen)
4. KDRT: 2.240 (4,8 persen)
5. Pasangan Pemabuk: 1.244 (2,6 persen)
6. Pasangan Penjudi: 874 (1,9 persen)
7. Poligami: 525 (1,1 persen)
8. Cacat Badan: 525 (1,1 persen)
9. Dihukum Penjara: 281 (0,6 persen)
10. Zina: 215 (0,4 persen)
11. Kawin Paksa: 200 (0,4 persen)
12. Murtad: 155 (0,3 persen)
13. Lain-lain: 205 (0,4 persen)
Total Perkara: 46.920
Sumber: data Badilag MA Januari-September 2016.[6]
            Memperhatikan kondisi suami dan isteri yang mengalami percereian atau perselisihan  memang unik. Kadang-kadang ia mencapai klimaks sehingga tampak  bagi masing-masing suami isteri sepertinya tidak ada jalan keluar untuk hidup bersama, dan tidak ada jalan keluar melainkan berpisah. Anggapan semacam ini  kadang-kadang melibatkan berabagai pihak seperti kerabat, teman, sahabat, setelah berlalu beberapa lama ternyata perselisihan keduanya reda, masalah terpecahkan, perselisihan terselesaikan, sebagai karunia Allah kepada rumah tangga yang berkah ini, suami menjadi tenang kembali, demikian juga isteri punya tempat sandaran lagi., demikian juga anak-anaknya semakin tenang dan damai. Karena itu tepat sekali apa yang disampaikan oleh Rasulullah untuk menguatkan sisi posisif yang baik untuk menghadapi sisi negatif yang jelek, sehingga yang negatif tidak menguasai yang positif.
لاَيَفْرَكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمَنَةً إِنْكَرِهَ مِنْهاَ خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا اَخَرُ, رواه مسلم
Janganlah seorang laki-laki mukmin membenci (mencereikan) wanita mukminah (isterinya). Jika ia tidak menyukai salah satu perangainya, niscaya ia masih menyukai dari segi-segi yang lainnya. H.R. Muslim.
            Terjadinya thalak merupakan jalan keluar yang paling akhir dan penghabisan bagi sesuatu yang sulit untuk dipecahkan oleh suami isteri. Maka thalak adalah jalan keluar yang dapat memberikan pertolongan untuk keluar dari kerusakan dan keburukan yang datang. Jadi thalak ini merupakan jalan keluar bagi berbagai persoalan keluarga (suami dan isteri). Dan disyariatkan untuk memenuhi kebutuhan, dan dibenci untuk dilakukan jika tanpa adanya kebutuhan.
            Di negeri kita istilah thalak dikenal dengan suami yang mencereikan isterinya, sedangkan isteri yang menggugat cerei suaminya disebut khulu’. Khulu’ dengan cara memberikan tebusan atau khulu’ dengan cara tanpa tebusan (fasakh). Thalak dan khulu’ adalah sebagian jalan, dan jalan akhir bagi suami isteri yang tak bisa lagi mempertahankan rumah tangganya.
Isteri yang meminta cerei kepada suaminya tidak akan bisa mencium baunya surga apalagi masuk dalam surga itu sendiri. Hal ini sesuai dengan hadits sebagai berikut;
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجُهَا الطَّلاَقَ فيِ غَيْرِمَا بَأْسٍ, فحَرَامٌ عَلَيْهَا رَا ئِحَةَالْجَنَّةِ
Perempuan mana saja yang meminta thalak kepada suaminya dengan tanpa sebab maka haram baginya bau wewangian surga. HR. ke lima perawi hadits kecuali an-Nasa’i.
            Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa ini adalah dalil bahwa permintaan thalak isteri kepada suaminya diharamkan dengan pengharaman yang sangat besar, karena orang yang tidak bisa mencium wewangian surga tak akan pernah masuk kedalamnya. Cukuplah dengan dosa yang membawa si pelaku dosa kepada tingkatan tersebut sambil mengisyaratkan keburukan dan kekerasannya.[7]
Selanjutnya beliau mengatakan jika thalak terjadi tanpa sebab dari semula, berarti thalak tidak memiliki kebutuhan untuk menghilangkan ikatan perkawinan. Bahkan tindakan ini adalah sebuah tindakan yang bodoh dan pendapat yang hina. Hanya sekedar tindakan pengufuran terhadap kenikmatan, serta semata-mata tindakan aniaya terhadap isteri, keluarga dan anak-anaknya.[8]
            Setelah percereian terjadi, maka timbullah masalah baru yaitu mereka bukanlah lagi bersatatus sebagai suami isteri melainkan orang lain (bukan muhrim). Mereka sama saja dengan orang kebanyakan (masyarakat umum). Mereka boleh bertemu satu sama lainnya sesuai dengan ketentuan agama. Bahkan mereka boleh tinggal di rumah (mantan) suami selagi mereka dalam keadaan masa iddah. Artinya (mantan) suami tidak boleh mengusirnya selagi masa iddah. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat ath-Thalaq 65 [1].
…..لَا تُخۡرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخۡرُجۡنَ إِلَّآ أَن يَأۡتِينَ بِفَٰحِشَةٖ مُّبَيِّنَةٖۚ …..
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.
            Prof. Hamka dalam menafsirka ini ayat “janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka keluar melainkan jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata maksudnya adalah bahwa selama di dalam iddah itu perempuan tersebut masih diberi hak oleh Allah tinggal dalam rumah itu dan dalam ayat ini dijelaskan bahwa selama dalam iddah itu rumah tersebut masih rumah mereka, meskipun yang menyediakan rumah itu sejak semula ialah si suami. Oleh karena selama dalam pergaulan mereka telah hidup berdua dalam satu rumah, perempuan itupun telah turut mempunyai rumah itu. Apatah lagi jika kehidupan rumah tangga atas dasar satu isteri dalam perkongsian membina hidup, maka pada beberapa bangsa berlakulah adat yang bernama “gono-gini” atau “sarang dibagi, sekutu dibelah” atau “seguna sekaya” yang maksud ketiga adat itu adalah satu, yaitu dua orang suami isteri yang merantau meninggalkan kampung halaman, lalu berusaha berdagang, atau bertani, atau jadi pegawai negeri, yang sama-sama dirasakan bahwa segala usaha adalah usaha berdua. Dalam hal yang demikian tentu saja rumah tadi hak berdua pula. Maka tidaklah boleh si laki-laki mengeluarkan isteri yang dicereikan dalam iddah itu dari dalam rumah itu sebelum lepas idahnya.[9]
            Disamping itu (mantan) suami sebagai bentuk tanggung jawabnya, maka dia harus memberikan nafkah selama dalam masa iddah kepada (mantan) isterinya. Yaitu at-Tasrih bi ihsan (mencereikan dengan cara yang baik) sebagaimana diperintahkan Allah itu menghendaki agar (mantan) suami memberi nafkah dengan cara yang wajar sebagaimana yang diberikannya sebelum thalak, selama masih dalam batas-batas kemampuan ekonominya.
            Selanjutnya wanita yang sedang menjalankan masa iddah harus tinggal di rumah dan tidak keluar kecuali ada keperluan. Hal ini sesuai dengan hadits dari Jabir bin Abdullah;
طُلِّقَتْ خَالَتِي فَأَرَادَتْ أَنْ تَجُدَّ نَخْلَهَا, فَزَخَرَهَا رَجُلٌ أَنْ تَخْرُجَ, فَأَتَتِ النَّبِيَّ ص م. فَقَالَ:
بَلَي, فَجُدِّي نَخْلَكِ, فإنَّكَ عَسَي أَن تَصَدَّقِي أَوْتَفْعَليِ مَعْرُوْفاً. رواه مسلم

Bibiku dicereikan oleh suaminya, lalu hendak dia memetik kurmanya. Kemudian ada seorang laki-laki yang melarangnya keluar. Lalu dia datang kepada Nabi SAW, kemudian beliau bersabda, ‘Ya, petiklah kurmamu, barangkali engkau akan dapat bersedekah atau berbuat kebaikan. H.R.Muslim.
Wallahu a’lam.
Karawang, 5 Oktober 2016. (Masykur H Mansyur)







DAFTAR PUSTAKA


Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahriir al- Mar’ah fi Ashr al-Risaalah, Terj. As’ad Yasin, Kebebasan Wanita, Jilid VI. Cet IV, 2014.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, 2006.
Dian Erika Nugraheny, Umar Mukhtar, Republika, Lonjakan Percereian Ancam Kualitas Anak, Rabu, 5 Oktober 2015.
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 9, Jakarta, Gema Insani Press, 2015.
Lilis Sri Handayani dan Christyaningsih, Republika, Indramayu Masih Puncaki Percereian, Selasa 4 Oktober 2016.
M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, Cet. III, 2013.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Jilid IX, Jakarta, GIP, 2011.


















Karawang, 5 Oktober 2016
مشكور منصور


[1] Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahriir al- Mar’ah fi Ashr al-Risaalah, Terj. As’ad Yasin, Kebebasan Wanita, Jilid VI. Cet IV, 2014, hlm. 27.
[2] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[3] M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, Cet. III, 2013, hlm. 397-398.
[4] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[5] Lilis Sri Handayani dan Christyaningsih, Republika, Indramayu Masih Puncaki Percereian, Selasa 4 Oktober 2016.
[6] Dian Erika Nugraheny, Umar Mukhtar, Republika, Lonjakan Percereian Ancam Kualitas Anak, Rabu, 5 Oktober 2015.
[7] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Jakarta, GIP, 2011,  Jilid IX, hlm.354
[8] Ibid,
[9] Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 9, Jakarta, Gema Insani Press, 2015, hlm. 186.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Populer

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.