Ujub merupakan
satu dari sekian banyak akhlaq tercela. Ujub sebagaimana dikatakan oleh Imam
al-Ghazali dalam Mukhtashor Ihya’ Ulumuddin yaitu kesombongan batin atas
kesempurnaan ilmu atau amal yang digambarkannya melalui lisan maupun perbuatan
(tindakan). Jika merasa khawatir, bahwa kesempurnaan itu akan lenyap, maka ia
bukan disebut sebagai orang yang berlaku ujub. Dan jika merasa gembira karena
menganggap kesempurnaan tersebut sebagai nikmat yang datang dari Allah, maka
ini juga bukan termasuk orang yang berlaku ujub. Melainkan sebagai orang yang
merasa gembira atas anugerah yang Allah Ta’ala berikan kepadanya. Dan jika ia
memandang kesempurnaan tersebut sebagai sifat tanpa memperhatikan bahwa hal itu
bisa lenyap dan tidak juga memperhatikan kepada siapa yang telah memberikannya,
melainkan hanya terpaku pada sifat itu sendiri, maka sikap seperti ini termasuk
yang membinasakan.
Umul Mu’minin Siti
Aisyah pernah ditanya “kapan seseorang dikatakan tidak baik?” beliau menjawab
“ketika ia menganggap dirinya paling baik”.
Jawaban Siti Aisyah sungguh padat dan singkat, tapi mempunyai makna
yang luas dan mendalam. Itulah yang dimaksud dengan ujub yaitu salah satu dari
akhlaq tercela. Secara sederhana ujub diartikan sebagai terpesona atau kagum
terhadap kebaikan diri sendiri.
Bagaimanapun hebatnya orang yang sok menyombongkan diri, tetap saja
ia adalah termasuk orang yang lemah, dan dia berada dalam jurang kehancuran.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Tabrani dari Annas.
عن أنس قال : قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم : ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ : شُحٌّ مُطَاعٌ
وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
“Tiga
hal yang membawa pada jurang kebinasaan: (1) tamak lagi kikir, (2) mengikuti
hawa nafsu (yang selalu mengajak pada kejelekan), dan ujub (takjub pada diri
sendiri).
Tercatat dalam sejarah Islam bahwa
ujub atau sombong karena merasa kuat pernah terjadi pada masa Rasululah saw.
Dalam perang Hunain jumlah pasukan muslim sangatlah banyak yaitu sekitar 12.000
orang. Karena merasa jumlah yang sangat banyak, sebagian sahabat sebelum perang
dimulai sudah merasa menang.
Hal
itu tertuang dalm surah al_Taubah 9 {25]
لَقَدۡ
نَصَرَكُمُ ٱللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٖ وَيَوۡمَ حُنَيۡنٍ إِذۡ
أَعۡجَبَتۡكُمۡ كَثۡرَتُكُمۡ فَلَمۡ تُغۡنِ عَنكُمۡ شَيۡٔٗا وَضَاقَتۡ عَلَيۡكُمُ
ٱلۡأَرۡضُ بِمَا رَحُبَتۡ ثُمَّ وَلَّيۡتُم مُّدۡبِرِينَ ٢٥
25. Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai
para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan
Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka
jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang
luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan
bercerai-berai.
Prof. Hamka dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan
bahwa, perasaan tentara Islam ketika berangkat adalah sedikit abai. Abu Bakar
sendiri-pun nyaris lalai melihat banyak bilangan itu, sehingga terloncat dari
mulutnya. Kita tidak akan dapat dikalahkan lagi, lantaran sedikit. Artinya
bahwa bilangan kita telah banyak, lebih dari 12.000 orang. Sedangkan yang
lainpun se-akan-akan ada perasan begitu.Hawazin dan Tsaqif akan dapat kita
kalahkan. Sedangkan Quraisy yang lebih kuat telah kita kalahkan. Apalagi
orang-orang Mekkah yang baru beberapa minggu saja memeluk Islam, dengan
berbesar hati ikut pergi perang sebab merasa tidak akan kalah dan akan mendapat
banyak laba harta rampasan karena menurut Muhammad saw. Maka, berangkatlah
tentara besar itu meninggalkan Mekkah menuju negeri orang Hawazin dan Tsaqif
itu.
Karena mereka sudah merasa menang sebelum
perang, akhirnya mereka lalai dari incaran dan siasat musuh. Ketika sampai di lembah
Hunain, pasukan Islam diserang musuh dari segala penjuru termasuk dilereng-lereng
bukit yang sangat strategis. Dengan laihainya pasukan Malik bin Auf
menggelontorkan batu-batu besar dan diserang dengan tombak dan anak panah,
sehingga pasukan Islam lari tunggang langgang, kocar kacir. Timbul panic dan
kegugupan luar biasa sehingga barisan yang tadinya teratur menjadi kocar-kacir
berderai-derai.
Namun
tiba-tiba muncul lagi kegembiraan di hati pemimpin-pemimpin Mekah.
Rasulullah saw menguatkan kembali persatuan diantara umat Islam. Setelah
melakukan instropeksi dan konsolidasi, serta atas pertolongan Allah SWT,
akhirnya peperangan ini dimenagkan oleh kaum muslimin.
Ada
ujub yang disebabkan oleh keyakinan dan perilaku. Orang ujub biasanya merasa
paling benar dan suci dibandingkan dengan orang lain, karena orang semacam ini
menanggap dirinya sudah melkasanakan ajaran agama sesuai dengan tuntutan. Ada
lagi, orang ujub juga, merasa paling pintar dalam hal agama, sehingga tidak
memberi ruang orang lain untuk bicara soal agama. Orang ujub semacam ini bisa
menilai orang dari sisi siapa yang bicara, bukan dari sisi apa yang menjadi isi
pembicaraannya. Ujub ini muncul dari orang yang tinggi semangat atau motivasi
keagamaannya, tapi miskin ilmu, pada sisi yang lain muncul pada orang pandai,
tapi miskin akhlaqnya.
Allah
SWT mengingatkan kita dalam al-Qur’an surat al-Najm 53 [32]
…..فَلَا
تُزَكُّوٓاْ أَنفُسَكُمۡۖ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓ ٣٢
32. maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci.
Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.
Termasuk larangan menyombongkan diri
sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Isra 38
وَلَا
تَمۡشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّكَ لَن تَخۡرِقَ ٱلۡأَرۡضَ وَلَن تَبۡلُغَ ٱلۡجِبَالَ
طُولٗا ٣٧
37. Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus
bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung
Siapa orang sombong itu ?. Orang sombong adalah
orang yang tak tahu siapa dirinya.Bersifat angkuh karena dia telah lupa bahwa
hidup manusia di dunia ini hanyalah bersifat sementara. Kelak akan mati, akan
kembali masuk ke tanah dan kembali jadi tanah, tinggal tulang-tulang yang
berserekan dan menakutkan.
Oleh sebab itu, seorang mukmin sejati ialah
seorang yang tahu diri, lalu ditempatkan dirinya itu pada tempat yang
sebenarnya. Itulah yang dikenal dalam bahasa Arab sebagai sifat tawadhu’. Atau
tegakla yang sederhana, ukurlah kekuatan diri, seperti hadits Rasulullah saw.
مَاهَلَكَ امْرُؤٌ عَرَفَ قَدْرَ نَفْسِهِ
Tidaklah akan celaka orang
yang mengerti kedudukan dirinya.
Wallahu a’lam bi al-shawaab
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar